Rabu, 20 Maret 2013

Pemerolehan Bahasa Pertama Pada Anak Usia 0-7 tahun Melalui Tahap-tahapnya

Pemerolehan Bahasa Pertama Pada Anak Usia 0-7 tahun Melalui Tahap-tahapnya

Saya lupa alamat webnya, maaf...

I. PENDAHUUAN
Istilah pemerolehan dipakai untuk padanan istilah Inggris aquisition, yakni, proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya. Proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal disebut dengan pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, anak lebih mengarah pada fungsi komunikasi dari pada bentuk bahasanya. Pemerolehan bahasa anak-anak dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit.

Pemerolehan bahasa pertama sangat erat hubungannya dengan perkembangan perkembangan kognitif yakni pertama, jika anak dapat menghasilkan ucapan-ucapan yang mendasar pada tata bahasa yang rapi, tidaklah secara otomatis mengimplikasikan bahwa anak telah menguasai bahasa yang bersangkutan dengan baik. Kedua, pembicara harus memperoleh katagori-katagori kognitif yang mendasari berbagai makna ekspresif bahasa-bahasa alamiah, seperti kata, ruang, modalitas, kualitas, dan sebagainya. Persyaratan-persyaratan kognitif terhadap pengusaan bahasa lebih banyak dituntut pada pemerolehan bahasa kedua dari pada dalam dalam pemerolehan bahasa pertama.

Menurut Kiparsky (Tarigan, 1986: 243) pemerolehan bahasa merupakan suatu proses  yang dipergunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis yang makin bertambah rumit, ataupun teori-teori yang masih terpendam atau tersembunyi yang mungkin sekali terjadi, dengan ucapan-ucapan orang tuanya sampai dia memilih, berdasarkan suatu ukuran atau dari bahasa tersebut. Penjelasan Kiparsky tersebut dapat dilihat dari pengamatan sehari-hari terhadap perkembangan seorang anak (dalam hal ini anak yang normal) memproses kecakapan berbahasanya. Biasanya yang dilakukan oleh anak-anak tersebut di antaranya bermula dari mendengar dan mengamati bunyi-bunyi bahasa di sekelilingnya tanpa disuruh atau disengaja. Kemudian lama kelamaan apa-apa yang didengar dan apa-apa yang diamatinya itu berkembang terus menerus tahap demi tahap sesuai dengan perkembangan kemampuan intelegensi dan latar belakang sosial-budaya yang membentuknya. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemerolehan bahasa adalah suatu proses yang dalam hal ini anak-anak belajar dan kemudian mendapatkan kelancaran dalam berbahasa. Kelancaran berbahasa yang dimaksud adalah bahasa ibunya atau bahasa pertama sekali yang didengarnya

II. PEMBAHASAN
  1. 1.    Proses pemerolehan bahasa pertama
Proses anak  mulai mengenal dengan lingkungannya secara verbal disebut dengan peme-rolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, anak lebih mengarah pada fungsi komunikasi dari pada bentuk bahasanya. Pemerolehan bahasa anak-anak dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit.
Ada dua pengertian mengenai pemerolehan bahasa. Pertama, pemerolehan mempunyai permulaan yang mendadak tiba-tiba. Kedua, pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik.

Pemerolehan bahasa pertama sangat erat hubungannya dengan perkembangan kognitif yakni pertama, jika anak dapat menghasilkan ucapan-ucapan yang berdasar pada tata bahasa yang teratur rapi, tidaklah secara otomatis mengimplikasikan bahwa anak telah menguasai menguasai bahasa anak yang bersangkutan dengan baik. Kedua, pembicara harus memperoleh ‘kategori-kategori kognitif ‘yang mendasari berbagai makna ekspresif bahasa-bahasa ilmiah, seperti kata, ruang, modalitas. Kasualitas, dan sebagainya. Persyaratan-persyaratan kognitif terhadap penguasaan bahasa lebih banyak dituntut pada pemerolehan bahasa kedua dari pada dalam pemerolehan bahasa pertama.

Bahasa bersifat universal. Pemerolehan bahasa pertama erat kaitannya dengan permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik. Pemerolehan bahasa pertama erat sekali kaitannya dengan perkembangan sosial anak dan karenanya juga erat hubungannya denganpembentukan identitas sosial. Mempelajari bahasa pertama merupakan salah satu perkembangan menyeluruh anak menjadi anggota penuh suatu masyarakat. Sejak dari bayi telah berinteraksi di dalam lingkungan sosialnya. Seorang ibu seringkali memberi kesempatan kepada bayi untuk ikut dalam komunikasi sosial dengannya. Kala itulah bayi pertama kali mengenal sosialisasi, bahwa dunia adalah tempat orang saling berbagi rasa

Melalui bahasa khusus bahasa pertama, seorang anak belajar untuk menjadi anggota masyarakat. Bahasa pertama menjadi salah satu sarana untuk mengungkapkan perasaan, keinginan, dan pendirian, dalam bentuk-bentuk yang tidak dapat diterima anggota masyarakatnya, ia tidak selalu boleh mengungkapkan perasaannya secara gamblang. Apabila seorang anak menggunakan ujaran-ujaran yang bentuknya benar atau gramatikal, belum berarti bahwa ia telah menguasai bahasa pertama. Agar seorang anak dapat dianggap telah menguasai bahasa pertama ada beberapa unsur yang penting yang berkaitan dengan perkembangan jiowa dan kognitif anak itu. Perkembangan nosi-nosi (notion) atau pemahaman seperti waktu, ruang, modalitas, sebab akibat, dan deiktis merupakan bagian yang penting dalam perkembangan kognitif penguasaan bahasa pertama seorang anak.

2. Periode dan perkembangan pemerolehan bahasa pertama
Perkembangan pemerolehan bahasa anak dapat dibagi atas tiga bagian penting yaitu: perkembangan prasekolah, perkembangan ujaran kombinatori, dan perkembangan masa sekolah. Perkembangan pemerolehan bahasa pertama anak pada masa prasekolah dapat dibagi lagi atas perkembangan pralinguistik, tahap satu kata dan ujaran kombinasi permulaan. Perkembangan pralinguistik ditandai oleh adanya pertukaran giliran antara orang tua (khususnya ibu) dengan anak. Pada masa perkembangan pralinguistik anak mengembangkan konsep dirinya. Ia berusaha membedakan dirinya dengan subjek, dirinya dengan orang lain serta hubungan dengan objek dan tjndakan pada tahap satu kata, anak terus menerus berupaya mengumpulkan nama benda-benda dan orang yang ia jumpai.

Kata-kata yang pertama diperolehnya tahap ini lazimnya adalah kata yang menyatakan perbuatan, kata sosialisasi, kata yang menyatakan tempat, dan kata yang menyatakan pemerian. Dilihat dari unsur dasar pembentukannya kombinasi yang dibuat anak pada periode ini mengekspresikan dua unsur deretan dasar pelaku (agen) + tindakan (aksi) + ob jek. Semua kombinasi dua unsur terjadi, misalnya Agen + Aksi + Objek, Agen + Objek. Pada masa tahap 2 ada tiga sarana ekspresif yang dipakai oleh anak-anak, yang dapat membuat kalimat-kalimat mereka menjadi lebih panjang yaitu kemunculan morfem-morfim gramatikal secara inklusif dalam ujaran anak, pengertian atau penyambungan bersama-sama hubungan dua hal tersebut, dan perluasan istilah dalam suatu hubungan. Perkembangan ujaran kombinatori anak-anak dapat dibagi dalam empat bagian yaitu per-kembangan-negatif/penyangkalan, perkembangan interogatif/pertanyaan, perkembangan penggabungan kalimat, dan perkembangan sistem bunyi.

3. Tahap-tahap pemerolehan bahasa pertama
Perlu untuk diketahui adalah seorang anak tidak dengan tiba-tiba memiliki tata bahasa bahasa pertama dalam otaknya dan lengkap dengan semua kaidahnya. Bahasa pertama diperolehnya dalam beberapa tahap dan setiap tahap berikutnya lebih mendekati tata bahasa dari bahasa orang dewasa. Menurut para ahli, tahap-tahap ini sedikit banyaknya ada ciri kesemestaan dalam berbagai bahasa di dunia.

Pengetahuan mengenai pemerolehan bahasa dan tahapannya yang paling pertama didapat dari buku-buku harian yang disimpan oleh orang tua yang juga peneliti ilmu psikolinguistik. Dalam studi-studi yang lebih mutakhir, pengetahuan ini diperoleh melalui rekaman-rekaman dalam pita rekaman, rekaman video, dan eksperimen-eksperimen yang direncanakan. Ada sementara ahli bahasa yang membagi tahap pemerolehan bahasa ke dalam tahap pralinguistik dan linguistik. Akan tetapi, pendirian ini disanggah oleh banyak orang yang berkata bahwa tahap pralinguistik itu tidak dapat dianggap bahasa yang permulaan karena bunyi-bunyi seperti tangisan dan rengekan dikendalikan oleh rangsangan (stimulus) semata-mata, yaitu respons otomatis anak pada rangsangan lapar, sakit, keinginan untuk digendong, dan perasaan senang. Tahap linguistik  terdiri atas beberapa tahap, yaitu (1) tahap pengocehan (babbling); (2) tahap satu kata (holofrastis);  (3) tahap dua kata; (4) tahap menyerupai telegram (telegraphic speech).
  1. Vokalisasi bunyi
Pada umur sekitar 6 minggu, bayi mulai mengeluarkan bunyi-bunyi dalam bentuk teriakan, rengekan, dengkur. Bunyi yang dikeluarkan oleh bayi mirip dengan bunyi konsonsonan atau vokal. Akan tetapi, bunyi-bunyi ini belum dapat dipastikan bentuknyakarena memang terdengar dengan jelas. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah bunyi-bunyi yang dihasilkan tadi merupakan bahasa? Fromkin dan Rodman (1993:395) menyebutkan bahwa bunyi tersebut tidak dapat dianggap sebagai bahasa. Sebagian ahli menyebutkan bahwa bunyi yang dihasilkan oleh bayi ini adalah bunyi-bunyi prabahasa/dekur/vokalisasi bahasa/tahap cooing.

Setelah tahap vokalisasi, bayi mulai mengoceh (babling). Celotehan merupakan ujaran yang memiliki suku kata tunggal seperti mu dan da .Adapun umur si bayi mengoceh tak dapat ditentukan dengan pasti. Mar’at (2005:43) menyebutkan bahwa ocehan ini terjadi pada usia antara 5 dan 6 bulan. Dardjowidjojo (2005: 244) menyebutkan bahwa celoteh terjadi pada umur 8 sampai dengan 10 bulan. Perbedaan pendapat seperti ini bisa saja. Yang perlu diingat bahwa kemampuan anak berceloteh tergantung pada perkembangan neurologi seorang anak.

Pada tahap celoteh ini, anak sudah menghasilkan celoteh vokal dan konsonan yang berbeda seperti frikatif dan nasal. Mereka juga mulai mencampur konsonan dengan vokal. Konsonan yang keluar pertama adalah konsonan bilabial hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/ dengan demikian, strukturnya adalah K-V. Ciri lain dari celotehan adalah pada usia sekitar 8 bulan, struktur silabel K-V ini kemudian diulang sehingga muncullah struktur seperti: Orang tua mengaitkan kata papa dengan ayah dan mama dengan ibu.meskipun yang ada di benak tidaklah diketahui. Tidak mustahil celotehan itu hanyalah sekedar artikulori belaka (Darmowidjojo: 2005:245).

Begitu anak melewati periode mengoceh, mereka mulai menguasai segmen-segmen fonetik yang merupakan balok bangunan yang dipergunakan untuk mengucapkan perkataan. Mereka belajar  bagaimana mengucapkan sequence of segmen, yaitu silabe-silabe dan kata-kata. Cara anak-anak mencoba segmen fonetik ini adalah dengan menggunakan teori hypothesis-testing (Clark & Clark dalam Ma’at 2005:43). Menurut teori ini anak-anak menguji coba berbagai hipoptesis tentang bagaimana mencoba memproduksi bunyi yang benar. Pada tahap-tahap permulaan pemerolehan bahasa, biasanya anak-anak memproduksi perkataan orang dewasa yang disederhanakan sebagai berikut:

b. Tahap satu kata atau Holofrastis
Tahap ini berlangsung ketika anak berusia antara 12 dan 18 bulan. Ujaran-ujaran yang mengandung kata-kata tunggal diucapkan anak untuk mengacu pada benda-benda yang dijumpai  sehari-hari. Pada tahap ini pula seorang anak mulai menggunakan serangkaian bunyi berulang-ulang untuk makna yang sama. Pada usia ini pula, sang anak sudah mengerti bahwa bunyi ujar berkaitan dengan makna dan mulai mengucapkan kata-kata yang pertama. Itulah sebabnya tahap ini disebut tahap satu kata satu frase atau kalimat, yang berarti bahwa satu kata yang diucapkan anak itu merupakan satu konsep yang lengkap. Misalnya “mam” (Saya minta makan); “pa” (Saya mau papa ada di sini). “Ma” (Saya mau mama ada di sini).
Mula-mula, kata-kata itu diucapkan anak itu kalau rangsangan ada di situ, tetapi sesudah lebih dari satu tahun, “pa” berarti juga “Di mana papa?” dan “Ma” dapat juga berarti “Gambar seorang wanita di majalah itu adalah mama”
Menurut pendapat beberapa peneliti bahasa anak, kata-kata dalam tahap ini mempunyai tiga fungsi, yaitu kata-kata itu dihubungkan dengan perilaku anak itu sendiri atau suatu keinginan untuk suatu perilaku, untuk mengungkapkan suatu perasaan, untuk memberi nama kepada suatu benda. Dalam bentuknya, kata-kata yang diucapkan itu terdiri dari konsonan-konsonan yang mudah dilafalkan seperti m,p,s,k dan vokal-vokal seperti a,i,u.e.

c. Tahap dua kata, Satu frase
Tahap ini berlangsung ketika anak berusia 18-20 bulan. Uiaran-ujaran yang terdiri atas dua kata mulai muncul seperti mama mam dan papa ikut. Kalau pada tahap holofratis ujaran yang diucapkan si anak belum tentu dapat ditentukan makna, pada tahap dua kata ini, ujaran si anak harus ditafsirkan sesuai dengan konteksnya. Pada tahap ini pula anak sudah mulai berpikir secara “subjek + predikat” meskipun hubungan-hubungan seperti infleksi, kata ganti orang dan jamak belum dapat digunakan. Dalam pikiran anak itu, subjek + predikat” dapat terdiri atas kata benda + kata benda, seperti  “Ani mainan”  yang berarti  “Ani  sedang bermain dengan mainan” atau kata sifat + kata benda, seperti “kotor patu” yang artinya “Sepatu ini kotor” dan sebagainya.

d. Ujaran Telegrafis
Pada usia 2 dan 3 tahun, anak mulai menghasilkan ujaran kata ganda (multiple-word utterences) atau disebut juga ujaran telegrafis. Anak juga sudah mampu membentuk kalimat dan mengurutkan bentuk-bentuk itu dengan benar. Kosakata anak berkembang dengan pesat mencapai beratus-ratus kata dan cara pengucapan kata-kata semakin mirip dengan bahasa orang dewasa.

Pada usia dini dan seterusnya, seorang anak belajar bahasa pertamanya secara bertahap dengan caranya sendiri. Ada teori yang mengatakan bahwa seorang anak dari usia dini belajar bahasa dendan menirukan. Namun, Fromkin dan Rodman (1993:403) menyebutkan hasil tiruan yang dilakukan oleh si anak tidak akan sama seperti yang diinginkan oleh orang dewasa. Jika orang dewasa meminta sang anak untuk menyebutkan “He’s going out”, si anak akan melafalkan dengan “he go out”. Ada lagi teori yang mengatakan bahwa seorang anak belajar dengan cara penguatan (reinforcement), artinya kalau anak belajar uiaran-ujaran yang benar, ia mendapat penguatan dalam bentuk pujian, misalnya bagus, pandai, dan sebagainya.Akan tetapi bila ujaran-ujarannya salah,ia mendapatkan “penguatan negatif”, misalnya lagi, salah, tidak baik. Pandangan ini berasumsi bahwa anak itu harus trus menerus diperbaiki bahasanya kalau salah dan dipuji jika ujarannya benar. Teori ini tampaknya belum dapat diterima seratus persen oleh para ahli psikolinguistik. Yang benar ialah seorang anak membentuk aturan-aturan dan menyusun tata bahasa sendiri. Tidak semua anak menunjukkan kemajuan-kemajuan yang sama meskipun semuanya menunjukkan kemajuan-kemajuan yang reguler.   

4.Teori-teori tentang pemerolehan bahasa pertama
a. Teori Behaviorirme
Teori behaviorisme menyoroti aspek perilaku kebahasaan yang dapat diamati langsung dan hubungan antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (response ). Perilaku bahasa yang efektif adalah membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan. Reaksi ini akan menjadi suatu kebiasaan jika reaksi tersebut dibenarkan. Dengan demikian, anak belajar bahasa pertamanya.
B.F. Skinner adalah tokoh aliran behaviorisme. Menurut Skinner, perilaku kebahasaan sama dengan perilaku yang lain, dikontrol oleh konsekuensinya. Apabila suatu usaha menyenang-kan, perilaku itu terus akan dikerjakan. Sebaliknya, apabila tidak menguntungkan, perilaku itu akan ditinggalkan. Singkatnya, apabila ada reinforcement   yang cocok, perilaku akan berubah dan inilah yang disebut belajar.
Menurut Brown (Pateda, 1990: 43) pendekatan behavioristik atau kaum impiris yang dipelopori oleh Skinner, anak yang baru lahir ke dunia ini dianggap kosong dari bahasa atau kosong dari struktur linguistik yang dibawanya. Anak tersebut ibarat tabularasa atau kertas putih yang belum ditulisi, lingkungannyalah yang akan memberi corak dan warna pada kertas itu. Namun, pemerolehan seperti ini memerlukan penguatan (reinforcment)

b. Teori Nativisme
Chomsky merupakan penganut nativisme. Menurutnya, bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia, binatang tidak mungkin dapat menguasai bahasa manusia. Pendapat Chomsky didasarkan pada beberapa asumsi. Pertama, perilaku berbahasa adalah sesuatu yang diturunkan (genetik), setiap bahasa memiliki perkembangan yang sama (merupakan sesuatu yang universal), dan lingkungan yang memiliki peran kecil di dalam proses pematangan bahasa. Kedua, bahasa dapat dapat dikuasai dalam waktu yang relatif singkat. Ketiga, lingkungan bahasa anak tidak dapat menyediakan data yang cukup bagi penguasaan tata bahasa yang rumit dari orandg dewasa.Menurut aliran ini, bahasa adalah sesuatu yang kompleks dan rumit sehingga mustahil dapat dikuasai dalam waktu yang singkat melaui “peniruan”. Nativisme juga percaya bahwa setiap manusia yang lahir sudah dibekali dengan suatu alat untuk memperoleh bahasa (Language Acquisition Device, disingkat LAD). Neil (Tarigan, 1998:239) mempunyai 4 ciri utama, yaitu (1) kemampuan untuk membedakan bunyi-bunyi yang lain; (2) kemampuan mengorganisasikan peristiwa-peristiwa linguistik ke dalam berbagai kelas; (3) pengetahuan mengenal jenis sistem linguistik tertentu sajalah yang mungkin mengungkapkan hal itu, sedangkan yang lain-lainnya tidak; (4) kemampuan memanfaatkan secara konstan evaluasi untuk membangun sistem yang mungkin paling sederhana dari data yang ditemukan. Mengenai bahasa apa yang akan diperoleh anak bergantung pada bahasa yang digunakan oleh masyarakat sekitar. Sebagai contoh, seorang anak yang dibesarkan di lingkungan Amerika sudah pasti bahasa Inggris menjadi bahasa pertamanya.

(Bolinger, 1975: 267) berpendapat bahwa anak-anak yang lahir ke dunia ini telah membawa kapasitas atau potensi bahasa yang akan berkembang nantinya sesuai dengan proses kematangan jntelektual anak itu. Potensi bahasa ini akan berkembang bagi anak-anak apabila saatnya sudah tiba.
Semua anak yang normal dapat belajar bahasa apa saja yang digunakan oleh masyarakat sekitar. Apabila diasingkan sejak lahir, anak ini tidak memperoleh bahasa. Dengan kata lain, LAD tidak mendapat “makanan” sebagaimana biasanya sehingga alat ini tidak bisa mendapat bahasa pertama sebagaimana lazimnya seperti anak yang dipelihara oleh srigala (Baradja, 1990:33). Tanpa LAD, tidak mungkin seorang anak dapat menguasai   bahasa dalam waktu singkat dan bisa menguasai sistem bahasa yang rumit. LAD juga memungkinkan seorang anak dapat membedakan bunyi bahasa dan bukan bunyi bahasa.

c. Teori Kognitivisme
Menurut teori ini, bahasa bukanlah, suatu ciri alamiah yang terpisah melainkan salah satu diantara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Bahasa disertukturi oleh nalar. Perkembangan bahasa harus berlandaskan pada perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi. Jadi, urutan-urutan perkembangan kognitif mementukan perkembangan bahasa (Chaer, 2003: 223). Hal ini tentu saja berbeda dengan pendapat Chomsky yang menyatakan bahwa mekanisme umum dari perkembangan kognitif tidak dapat menjelaskan struktur bahasa yang kompleks, abstrak, dan khas. Begitu juga dengan slingkungan berbahasa. Bahasa harus diperoleh secara alamiah.

Menurut teori kognitivisme, yang paling utama harus dicapai adalah perkembangan kognitif, barulah pengetahuan dapat keluar dalam bentuk keterampilan berbahasa. Dari lahir sampai 18 bulan, bahasa dianggap belum ada. Anak hanya mengenal benda yang dilihat secara langsung. Pada akhir usia satu tahun, anak sudah dapat mengerti bahwa benda memiliki sifat permanen sehingga anak mulai menggunakan simbol untuk mempresentasikan benda yang tidak hadir dihadapannya. Simbol ini kemudian berkembang menjadi kata-kata awal yang diucapkan anak.

Pendekatan kognivistik yang dipelopori oleh Louis Bloom (Pateda,1998) memandang bahwa pemerolehan bahasa anak-anak harus dilihat dari fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Itulah sebabnya penganut aliran ini membantah bahwa kalimat dua kata (pivot grammar) yang dikemukakan kaum mentalis, mungkin saja mengandung tafsiran yang lebih dari satu, karena menurut pandangan kognitivistik anak-anak bukan belajar struktur luar (surface structure ) tetapi mempelajari struktur dalam (deep structure)  dari bahasa itu.

D. Teori Interaksionisme
Teori interaksionisme beranggapan bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil interaksi antara  kemampuan mental pembelajaran dan lingkungan bahasa. Pemerolehan bahasa itu
berhubungan dengan adanya interaksi antara masukan “input” dan kemampuan internal yang dimiliki pembelajar. Setiap anak sudah memiliki LAD sejak lahir. Namun, tanpa ada masukan yang sesuai tidak mungkin anak dapat menguasai bahasa tertentu secara otomatis.
Mengenai teori-teori pemerolehan bahasa disesuaikan dengan struktur bahasa, yaitu fonologi, sintaksis dan semantik yang diungkapkan oleh Pateda (1988). Menurut Pateda ada beberapa teori struktural sejagat, (Jacobson), teori semantik sejagat (Shvachkin), teori behavioris (Mowrer), teori bahavioris sejagat (Olmsted), teori generatif struktural (Moskowizt), teori fonologi alami (Stampe), teori prosodik akustik (Weterson), teori penuh sistem logogen (Smith), teori keutamaan pemerolehan leksikon (Ferguson), teori kontras dan proses (Ingram), teori pendekatan pemecahan masalah (Kiparsky dan Menn), dan teori sintetik Gestalt (Peters). Teori-teori tentang pemerolehan sintaksis menggunakan teori formal.

(Brown, dkk) yang berfokus pada pengarektisasian bentuk atau struktur ucapan anak-anak. Teori fungsional yang mengemukakan bahwa terdapat tiga perkembangan bahasa pada anak yang dituturkannya dengan konstruksi negasi, konstruksi pertanyaan, dan konstruksi verba “to be” dalam bahasa Inggris, sedangkan teori tentang semantik menggunakan teori fungsional yang mengaitkan pemaknaan ucapan anak dengan situasi waktu itu. Teori sistem semantik yang menyangkut pemerolehan pada ciri-ciri individual anak secara semesta, dan teori konseptual yang menyatakan bahwa ucapan-ucapan yang dihasilkan anak-anak sebagian didesak oleh berbagai hal yang mereka pikirkan mengenai hal itu.

Penganalisaan ketiga komponen tersebut (fonologi, sintaksis, dan semantik) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari apa yang biasa dinamakan pemerolehan bahasa.
Pemerolehan dalam bidang Fonologi
Pada waktu dilahirkan, anak hanya memiliki sekitar 20% dari otak dewasanya. Ini berbeda dengan binatang yang sudah memiliki sekitar 70%. Karena  perbedaan inilah maka binatang sudah dapat melakukan banyak hal segera sesudah lahir, sedangkan manusia hanya bisa menangis dan menggerak-gerakkan badannya. Proposi yang ditakdirkan kecil pada manusia ini mungkin memang “dirancang” agar pertumbuhan otaknya proposional pula dengan pertumbuhan badannya.
Pada umur sekitar 6 minggu, anak mulai mengeluarkan bunyi-bunyi yang mirip dengan bunyi konsonan atau vokal.Bunyi-bunyi ini belum dapat dipastikan bentuknya karena memang terdengar dengan jelas. Proses bunyi-bunyi seperti ini dinamakan cooing, yang telah diterjemahkan menjadi dekutan (Dardjowidjojo 2000: 63). Anak mendekutkan bermacam-macam bunyi yang belum jelas identitasnya.
Pada sekitar umur 6 bulan, anak mulai mencampur konsonan dengan vokal sehingga membentuk apa yang dalam bahasa Inggris dinamakan babbling, yang telah diterjemahkan menjadi celotehan (Darmowidjojo: 2000: 63). Celotehan dimulai dengan konsonan dan diikuti diikuti oleh sebuah vokal. Konsonan yang keluar pertama adalah konsonan bilabial hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/. dengan demikian, strukturnya adalah CV. Ciri lain dari celotehan adalah bahwa CV ini kemudian diulang sehingga muncullah struktur seperti berikut:   C1 V1 C! V! C1 V!……papapa  mamama  bababa…..
Orang tua kemudian mengaitkan “kata” papa dengan ayah mama dengan ibu meskipun apa yang ada dibenak anak tidaklah kita ketahui; tidak mustahil celotehan itu hanyalah sekedar latihan artikulori belaka. Konsonan dan vokalnya secara gradual berubah sehingga muncullah kata-kata seperti dadi, dida, tita, dita,mama, mami, dan sebagainya.
Pemerolehan dalam bidang Sintaksis
Dalam bidang sintaksis, anak memulai berbahasa dengan mengucapkan satu kata (atau bagian kata). Kata ini, bagi anak sebenarnya adalah kalimat penuh, tetapi karena dia belum dapat mengatakan lebih dari satu kata, dia hanya mengambil satu kata dari seluruh kalimat
itu. Yang menjadi pertanyaan adalah kata mana yang dia pilih? Seandainya anak itu bernama Dodi dan yang ingin ia sampaikan adalah Dodi mau bubuk, dia akan memilih di (untuk Dodi), mau (untuk mau), ataukah buk (untuk bubuk)? Kita pasti akan menerka bahwa dia akan memilih buk. Tapi mengapa demikian?
Dalam pola pikir yang masih sederhana pun tampaknya anak sudah mempunyai pengetahuan tentang informasi lama versus informasi baru. Kalimat diucapkan untuk memberikan informasi baru kepada pendengarnya. Dari tiga kata pada kalimat Dodi mau bubuk, yang baru adalah kata bubuk.  Karena itulah anak memilih buk, dan bukan di, atau mau. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa dalam ujaran yang dinamakan Ujaran Satu Kata, USK anak tidak sembarangan saja memilih kata yang memberikan informasi baru.

Pemerolehan dalam bidang Semantik
Dari segi sintaksisnya, USK (Ujaran Satu Kata) sangatlah sederhana karena memang hanya terdiri dari satu kata saja, bahkan untuk bahasa seperti bahasa Indonesia hanya sebagian saja dari kata itu. Namun dari segi semantiknya, USK adalah kompleks karena satu kata ini  bisa memiliki lebih dari satu makna. Anak yang mengatakan /b/ untuk mobil bisa bermaksud mengatakan:
  1. Ma, itu mobil.
  2. Ma, ayo kita ke mobil.
  3. Aku mau ke mobil.
  4.  Aku minta (mainan) mobil.
  5. Aku nggak mau mobil.
  6. Papa ada di mobil, dan sebagainya
Kata mempunyai jalur hierarkhi semantik. Perkutut Bangkok adalah satu jenis perkutut, dan perkutut adalah satu jenis perkutut, dan perkutut adalah satu dari sekian banyak macam burung. Sementara itu, burung adalah salah satu binatang, dan binatang adalah salah satu wujud dari makhluk. Dalam hal pemerolehan kata, anak tidak akan memperoleh kata yang hirarkhinya terlalu tinggi atau terlalu rendah. Anak akan mengambil apa yang dinamakan basic level category , yakni, suatu kategori dasar yang tidak terlalu tetapi juga tidak terlalu rendah. Dalam contoh binatang di atas, anak tidak akan mengambil binatang atau makhluk; dia juga tidak akan mengambil perkutut. Dia akan mengambil kata yang dasar, yakni, burung. Tentu saja inputnya adalah dari bahasa sang ibu tetapi bahasa sang ibu juga mengikuti prinsip ini.

5. Srategi pemerolehan bahasa pertama
Srategi pertama dalam pemerolehan bahasa dengan berpedoman pada: tirulah apa yang dikatakan orang lain. Tiruan akan digunakan anak terus, meskipun ia sudah dapat sempurna melafalkan bunyi. Ada berbagai ragam peniruan atau imitasi, yaitu imitasi spontan atau spontaneous imitation, imitasi pemerolehan atau elicited imitation, imitasi segera atau immediate imitation, imitasi terlambat atau delayed imitation dan imitasi dengan perluasan atau imitation with expansion,  imitasi dengan pengurangan atau reduced imitation.
Strategi kedua dalam pemerolehan bahasa adalah strategi produktivitas. Produktivitas berarti keefektifan dan keefisienan dalam pemerolehan bahasa yang berpegang pada pedoman, buatlah sebanyak mungkin dengan bekal yang telah anda miliki atau anda peroleh. Produktivitas adalah ciri utama bahasa. Dengan satu kata seorang anak dapat  “bercerita atau mengatakan “ hal sebanyak mungkin. Kata papa misalnya dapat mengandung berbagai makna bergantung pada situasi dan intonasi.

Srategi ketiga berkaitan dengan hubungan  umpan balik antara produksi ujaran dan responsi. Dengan strategi ini anak-anak dihadapkan pada pedoman: hasilkanlah ujaran dan lihatlah bagaimana orang lain memberi responsi. Strategi produktif bersifat “sosial” dalam pengertian bahwa strategi tersebut dapat meningkatkan interaksi dengan orang lain dan sementara itu bersifat “kognitif” juga. Hal itu dapat memberikan umpan balik kepada pelajar mengenai ekspresinya sendiri terhadap makna dan juga memberinya sampel yang lebih banyak, yaitu sampel bahasa untuk digarap atau dikerjakan.

Strategi keempat adalah prinsip operasi. Dalam strategi ini anak dikenalkan dengan pedoman: gunakan beberapa “prinsip operasi umum untuk memikirkan serta menetapkan bahasa. Selain perintah terhadap diri sendiri  oleh anak,prinsip operasi ini juga menyarankan larangan yang dinyatakan dalam avoidance terms, misalnya: hindari kekecualian, hindari pengaturan kembali.

III. METODOLOGI PENELITIAN  
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis, dengan artian setiap data yang diperoleh dideskripsikan dan dianalisis apa adanya. Penggunaan metode ini menggunakan teknik-teknik sebagai berikut: (1) mengamati sampel dalam bahasa, (2) mencatat ucapan-ucapan sampel baik secara langsung maupun tidak langsung yaitu informasi-informasi yang diperoleh dari orang tuanya, (3) menganalisis data-data tersebut sesuai dengan teori-teori yang telah ditetapkan.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui proses pembelajaran bahasa pertama bagi anak-anak, sedangkan secara khusus bertujuan untuk mengetahui dn mengekspresikan beberapa hal yang berhubungan dengan tahap-tahap pemerolehan bahasa anak, sebagai berikut: (a) Mendeskripsikan perolehan-perolehan yang dilakukan oleh anak-anak, dalam tahap pralinguistik; (b) Mendeskripsikan perolehan-perolehan didapat oleh anak-anak dalam tahap linguistik, dan (c) Mendeskrpsikan perolehan-perolehan yang dilaksanakan oleh anak-anak dalam tahap kompetensi lengkap.

Dalam penelitian yang sederhana ini, peneliti mencoba mencoba membahas beberapa hal yang menyangkut pemerolehan bahasa pada anak-anak. Sehubungan dengan  bahasa pada anak-anak tersebut, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan sekaligus menjadi fokus dalam penelitian ini. Pertama, penelitian ini menjelaskan pemerolehan yang berhubungan dengan “tahap yang dilalui oleh anak-anak dalam proses pemerolehan bahasanya”. Tahap-tahap pemerolehan bahasa tersebut, difokuskan pada tiga hal, yaitu; tahap pra linguistik, tahap linguistik, dan tahap kompetensi lengkap. Kedua, ketika melalui ketiga proses tahapan pemerolehan bahasa tersebut, umumnya anak-anak berumur mulai 0 tahun sampai pada umur 5, bahkan beberapa teori mengungkapkan sampai umur 8 tahun. Ketiga, walaupun penelitian sederhana ini dilakukan secara singkat, namun pelaksanaan pengambilan data disesuaikan dengan umur anak selaras dengan tahap perkembangan yang dilaluinya. Jadi, dalam penelitian ini ada beberapa anak, yang dijadikan sampel, yang akan diamati perkembangan bahasanya.

Penelitian ini menggunakan populasi anak-anak usia 0-7 tahun,  yang dengan sampel 12 orang  yang terdiri dari 6 orang perempuan dan 6 orang laki-laki dengan ketentuan 2 orang untuk masing-masing tahapan pemerolehan bahasa tersebut. Alasan memilih dua orang untuk masing-msing tahapan adalah supaya keduanya saling melengkapi datanya. Untuk tahap pralinguistik pertama: 2 orang yaitu Pipit (5 bulan)dan Levi  (6 bulan), tahap pralinguistik kedua; 2 orang yaitu Yuni (8 bulan) dan Bobi (11 bulan). Tahap linguistik pertama; 2 orang yaitu Puri (13 bulan) dan Dedi (17 bulan), tahap linguistik kedua: 2 orang yaitu Nana (20 bulan) dan Yunus (24 bulan), tahap linguistik ketiga: Dewi (30 bulan) Bambang (35  bulan), dan tahap keempat; 2 orang yaitu Prita (4 tahun) Frid (5 tahun), serta untuk tahap kompetensi lengkap 2 orang yaitu Wika (6,5 tahun) dan Hanafi (7 tahun).

Lokasi penelitian ini adalah Kompleks Taman Asri Ciledug Tangerang. Artinya semua anak-anak yang dijadikan sampel penelitian ini bertempat tinggal di Kompleks Taman Asri tersebut. Alasan pemilihan tempat tersebut semata-mata karena peneliti bertempat tinggal di kompleks tersebut .Dengan demikian, setiap hari peneliti dapat mengamati anak-anak tersebut. Hal ini mengingat waktu yang dijadwalkan untuk penelitian ini relatif singkat. Karena itulah, penelitian singkat ini lebih layak disebut sebagai sebuah pengamatan awal.

Seperti yang diungkapkan para ahli bahwa pada tahap-tahap pralinguistik pertama, bahasa anak-anak mempunyai cIri tersendiri. Gejala-gejala yang muncul ditandai dengan menangis, menjerit, mendekut, dan tertawa. Anak-anak seolah-olah dengan kegiatan-kegiatan di atas menghasilkan jenis-jenis yang beragam. Bunyi-bunyi yang dihasilkan anak-anak itu tidaklah merupakan ucapan-ucapan yang berdasarkan organisasi fonemik dan fonetik, atau bukanlah merupakan bunyi-bunyi ujaran. Anak-anak menghasilkan suaranya sebagai alat bermain, seperti mereka menggunakan anggota tubuhnya yang lain. Namun, bunyi-bunyi yang mereka hasilkan itu tidak dapat digolongkan sebagai perfomasi linguistik. Biasanya anak-anak melewati tahap pralinguistik ini pada usia 0 sampai 6 bulan. Suara, jeritannya, dan tertawanya membuat lucu suasananya atau bahkan “bikin gregetan”. Di manapun orang tua berada rasanya pengin cepet-cepet pulang untuk mendengar celotehan dan tertawanya. Bahkan juga terjadi ketika pasangan itu mau menikah salah satu dari orang tua mereka tidak setuju. Tetapi begitu melihat cucunya yang mulai lucu, lunturlah segala rasa itu dan yang ada hanya rasa sayang,  Mereka mengajak ngomong dengan senyuman dan “kudangan” (bahasa Jawa) lalu anak itu hanya menjawab dengan mulut yang lucu serta bunyi yang dikeluarkan tanpa tahu artinya juga ketawa yang membuat orang jadi gregetan.Hal ini terjadi pada Pipit dan Levi. Saya juga masih teringat waktu cucu saya seumur anak tersebut. Karena tinggal serumah jadi lupa kalau itu cucu. Rasanya seperti punya anak lagi. Dan masih ada tambahan pengalaman lagi yaitu seorang cucu dari keponakan namanya Dandi (laki-laki), dapat mengangkat  badannya sendiri bila minta gendong. Saya sendiri juga heran kenapa anak umur 5 bulan kuat banget ngangkat badannya. Badannya kekar dan tulang-tulangnya memang kuat. Anak-anak yang dipakai dalam penelitian ini tidak ada yang sekokoh dia. Mungkin karena makanan atau keturunan. Memang bapaknya anak itu pendek dan kekar badannya. Tetapi adik-adiknya tidak. Sekarang sudah sekolah tetapi tulangnya tidak sekekar waktu masih kecil. Jadi memang anak waktu kecil akan berbeda jika nanti sudah besar karena beberapa faktor.

Tahap pralinguistik kedua disebut juga tahap “omong kosong” (Tarigan, 1998; 264), atau tahap “pengocehan” (Subiyakto, 1998: 70). Dalam tahap ini anak-anak akan mengucapkan sejumlah ujaran tidak bermakna. Kalaupun bermakna, itu hanya merupakan sesuatu kebetulan saja. Pengocehan ini seringkali dihasilkan dengan intonasi kalimat kadang-kadang dengan tekanan  menurun seolah-olah merupakan sebuah pertanyaan.  Namun, ocehan- ocehan itu belum juga dapat digolongkan sebagai perfomasi linguistik, karena hanya baru bersifat omong kosong dan tidak termasuk pada masukan akustik.
Namun, tahap ini penting artinya, karena dalam tahap ini anak-anak akan belajar menggunakan bunyi bunyi ujar yang benar dan dapat diterima oleh lingkungannya, dan membuang bunyi ujar yang salah dan tidak dapat diterima oleh lingkungannya (Subiyakto, 1998: 71). Tahap ini biasanya dialami oleh anak-anak yang berusia 6 sampai dengan 12 bulan.

Omong kosong yang dilakukan oleh dua orang sampel yaitu Yuni dan Bobi  adalah ba, ba, ba, ta,ta, ta, ma ma,ma, yang berarti dia menginginkan sesuatu; dan pa,pa, pa yang tidak selalu berarti papa tetapi bisa saja berarti minta makan atau minum. Ocehan-ocehan ini ada kalanya dengan memasukkan jari kedalam mulutnya sehingga kita mengira dia haus atau lapar. Ada yang memang haus atau lapar, tetapi ada juga yang tidak. Ternyata dia minta keluar karena udara di dalam panas. Biasanya anak lebih mudah mengucapkan ma,ma, ma, dari pada pa,pa,pa,.Hal ini terjadi pada Bobi. Dia selalu menyebut pa,pa,pa dan ta, ta, ta sedangkan ma,ma,ma, tidak pernah disebut. Secara kebetulan ibunya bekerja dari pagi sampai malam dan bapaknya jam 4 sudah ada di rumah. Namun ini bukan berarti hanya lebih dekat dengan bapaknya karena ketika bapaknya sampai di rumah lansung tidur dulu dan anaknya diajak main oleh pengasuhnya. Ketika ibunya pulang walaupun sudah malam tentu langsung anak dulu yang dipegang (sesudah cuci tangan) dan bila sudah tidur ya malamnya bila bangun minta minum air susu ibunya. Jadi botol hanya digunakan bila ibunya tidak ada. Sewaktu ibunya di rumah kata yang diucapkan ta,ta,ta, dan pa,pa,pa. Ibunya juga tidak sakit hati karena kata-kata itu hanya omong kosong belaka tidak ada artinya.  Yuni tidak demikian halnya. Dia mengucapkan celotehan lengkap ta,ta,ta, ma,ma,ma, pa,pa,pa. Perbedaan ini sepertinya belum bisa menentukan bahwa Yuni lebih pandai dari pada Bobi. Fisiknya Yuni lebih lemah. Bila diajak pergi pulangnnya langsung rewel. Jadi pada pokoknya dalam tahap ini mereka baru mampu mengoceh yang dapat juga berupa bunyi-bunyi tidak tentu untuk mengungkapkan atau menyampaikan sesuatu kepada orang sekelilingnya.

Pada tahap linguistik pertama, bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap pada sampel sampel di atas sudah dapat dimasukkan ke dalam perfomansi linguistik. Anak-anak sudah mulai mengucapkan perkataan  yang pertama, meskipun belum lengkap seperti, “atit” yang berarti “sakit”, agi yang berarti “lagi”, itut yang berati “ikut”,atau atoh yang berarti “jatuh”. Tahap linguistik ini dapat dibagi menjadi 4 tahap, yaitu tahap linguistik pertama, tahap linguistik kedua,tahap linguistik ketiga, dan tahap linguistik keempat atau yang terakhir.

Menurut para ahli, tahap linguistik pertama ini disebut juga tahap kalimat satu kata atau holoprase, yang berarti bahwa satu kata sama dengan satu frase atau kalimat, contoh lain kata “pis” dapat berarti “anak-anak ingin pipis”, buk berarti anak ingin bubuk au bisa berari “mau” atau tidak mau. Ini harus bisa membaca gelagat si anak. Kalau sudah bisa menggelengkan atau menganggukkan kepala itu mudah. Tetapi kalau belum, itu yang membingungkan. Karena kalau tidak sesuai dengan apa yang dimaksud anak akan mrnangis. Fenomina lain adalah banyak sekali terdapat kedwimaknaan ujaran anak-anak pada tahap ini. Oleh karena itu, sebelum menafsirkan ujaran anak-anak terlebih dahulu lingkungannya harus mengamati apa yang sedang dilakukan oleh anak-anak itu. Misalnya ketika Puri dan Dedi mengucapkan tu  bukan berarti “itu”, tetapi ia sebetulnya menginginkan “sesuatu yang terletak di atas meja”, misalnya. Begitu juga dengan ni  bukan berarti “ini” tetapi ia menginginkan “seseorang mendekat padanya”.

Beberapa ahli berpendapat bahwa kata-kata yang diucapkan oleh anak-anak pada tahap ini mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut: (a) dihubungkan dengan perilaku anak-anak itu sendiri atau suatu keinginan untuk perilaku, (b) untuk mengungkapkan suatu perasaan, (c) untuk memberi nama suatu benda (Subiyakto, 1988: 72). Tahap ini dialami oleh Puri dan Dedi sebagai sampel penelitian.

Tahapan yang dilewati oleh Nana dan Yunus adalah tahap linguistik kedua disebut juga tahap ucapan dua kali atau satu frase. Kalimat dua kata ini muncul ketika mereka mulai mengerti suatu ‘tema’ dan mencoba mengekspresikannya dengan makna berbeda-beda, misalnya makna kepunyaan (milik) Nana mengucapkan mobil Nana  yang berarti “mobil ini milik Nana”, kemudian makna yang menyatakan sifat misalnya baju merah dan sebagainya. Anak-anak seusia ini pada umumnya belum dapat mengatakan “ r” dengan jelas, misalnya lambut (rambut), melah (merah), bubul (bubur), bulung (burung)dan juga “ s” misalnya: tutah (susah), tudah (sudah), tayang (sayang), pedeng (pedes), tambeng (sambel). Biasanya anak-anak melalui tahap ini pada usia 18 bulan atau 2 tahun.Pada umur inilah anak-anak baru mulai mengalami tahap-tahap seperti ini.

Yang perlu dicatat pada tahap ini adalah anak-anak belum atau tidak menggunakan verba-verba yang mereka pakai, misalnya jarang memakai preposisi “Aku pergi bude” “ Aku main mol” “ Aku kamar mandi” yang berarti  “aku pergi ke tempat bude”, “aku main ke mol” , Aku ke kamar mandi”, dan kata tugas lainnya Nana mandi kolam renang , Yunus tidur kamar   yang berarti  “Nana mandi di kolam renang” dan “ Yunus tidur di kamar”

Para pakar menyebut tahap linguistik ketiga sebagai tahap menyerupai telegraf (Subiyakto, 1988: 72) atau disebut juga tahap pengembangan pengembangan tata bahasa (Tarigan, 1988: 266). Selama tahap ketiga ini sampel Dewi dan Bambang  mengembangkan sejumlah sarana ketatabahasaan. Anak-anak sudah mulai menambah kata-kata pada kalimatnya,tetapi ucapan-ucapan mereka semakin bertambah rumit. Beberapa kata tugas sudah mulai dimunculkan dan hubungan sintaktik sudah mulai tampak,meskipun yang mereka bicarakan sering yang berhubungan dengan dirinya sendiri. Contohnya antara lain Babang manjat jatuh, yang dimaksud  “Bambang tadi memanjat lalu jatuh”. Ewi ikut nggak? Yang dimaksud “ Dewi boleh ikut nggak? Situasinya mamanya mau pergi maka dia mau ikut, tetapi malah bertanya.

Tahap linguistik keempat terdapat pada sampel Prita dan Frid. Frid adalah cucu saya sendiri. Sekarang dia sudah naik ke T.K besar. Sebelum dia masuk ke T.K besar nanti dia sudah bisa membaca dan menulis serta sudah bisa menghitung sampai 200. Warna-warna dalam bahasa Inggris sudah fasih semua dan hitungan dalam bahasa Inggris dari nol sampai 100 diucapkan dengan lancar. Hitungan tambah-tambahan dengan jari sudah bisa sampai dengan 10. Ini semua adalah hasil pengajaran dari omnya yang mempunyai Ipat. Dia suka sekali main Ipat. Tetapi sebelum main, harus belajar dulu. Jadi sistemnya pemberian hadiah yang paling dia sukai supaya mau belajar. Akhirnya dapat membuahkan hasil. Jadi dalam tahap ini anak sudah mengarah ke tahap kompetensi lengkap.

Tahap kompetensi lengkap disebut juga oleh para ahli sebagai tahap perkembangan bahasa sesudah usia 5 tahun. Tampaknya pada tahap ini Wika dan Hanafi telah dapat menguasai bahasa pertamanya dan ketrampilan-ketrampilan bagaimanakah penyampaiannya dengan memadai sehingga orang sudah dapat memahaminya. Misalnya: Aku ke sekolah pagi sekali  yang  berarti Aku berangkat ke sekolah pagi sekali”, aku makan kue adik selalu minta “Ketika aku makan kue adik selalu minta”, Jangan ambil buku kakak dek nanti sobek, “Jangan diambil buku kakak nanti sobek” dan mama tak sayang aku tapi adik, yang berarti “Mama tak sayang aku tapi adik”.

Beberapa ahli menyatakan bahwa dalam tahap ini terdapat beberapa perkembangan pada perolehan bahasa anak-anak, antara lain; Smith menyatakan bahwa antara usia 5-8 tahun muncul ciri-ciri baru, yaitu kemampuan untuk mengerti hal-hal yang abstrak pada taraf yang lebih tinggi, kemudian pda usia 7-8 tahun barulah mulai bahwa bahasa menjadi alat yang betul-betul penting bagi mereka untuk melukiskan dan menyampaikan pikirannya. Di samping itu, terdapat pula penambahan kosa kata, penggunaan konjungsi, preposisi yang lebih tepat, dan penggunaan secara tepat kata-kata yang mempunyai makna fisik dan psikis, menggunakan kalimat pasif, serta lebih ekonomis dalam mengungkapkan sesuatu serta menghindari hal-hal yang berlebihan (Subiyakto, 1988: 89-90).

IV. Kesimpulan

Dari pengamatan sepintas terhadap 12 orang anak usia 0-7 tahun dalam proses pemerolehan bahasanya, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: yaitu melalui tiga tahap perkembangan pemerolehan bahasanya sesuai dengan usia-usia tertentu. Tahap pertama disebut tahap pralinguistik. Pada tahap ini, pemerolehan bahasa anak melalui dua tahapan pula, yaitu tahap pralinguistik pertama dan pralinguistik kedua. Tahap kedua adalah tahap linguistik, yang dapat dirinci dalam empat tahap, yaitu tahap linguistik pertama, tahap linguistik kedua, tahap linguistik ketiga, dan tahap linguistik keempat. Terakhir, adalah tahap kompetensi lengkap.

Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa dari tahap-tahap yang dilakukan oleh anak-anak itu terlihat bahwa perkembangan bahasanya maju dan berkembang dalam suatu pola dan kaidah yang bertahap. Hal ini berarti bahwa penampilan tata bahas anak-anak tersebut dapat dikatakan tetap konstan dalam satu kurun waktu tertentu. Artinya, setiap terjadi perubahanusia, maka terjadi pula perubahan kemampuan anak-anak tersebut.Perubahan ini berjalan terus ke arah lebih baik sejalan dengan perubahan umur mereka ke arah yang lebih tinggi pula. Hal lain yang ikut mengalami perubahan bahasaitu adalah perubahan fisik mereka itu sendiri, dari belum bisa mengucapkan apa-apa sampai bisa mengucapkan dan menyampaikan buah pikiran atau suatu maksud.

Penelitian dengan pengamatan yang singkat ini dapat dijadikan sebagai dasar dalam penelitian pemerolehan bahasa pertama usia o-7 tahun secara lebih mendalam nantinya. Selain itu, penelitian ini dapat juga sebagai landasan dalam meneliti perkembangan bahasa anak selanjutnya di usia remaja. Implikasi lain adalah sebagai masukan bagi guru bahasa kedua dalam memperoleh informasi tentang kemampuan dasar para murid atau siswanya. Hal ini, akan berguna sekali dalam memprogram materi dan strategi pembelajaran bahasa kedua.

DAFTAR PUSTAKA
Brown H. Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa, Person Education Inc
Bolinger, Dwight. 1975. Aspect of Language, New York: Harcout Brace Jovanovich, Inc.
Dardjowijojo, Soenjono. 2005. Psiko Linguistik. Pengantar pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Ellis, Rod. 1985. Understanding Second Language Acquisation. Walton Stree, Oxford. Oxford University Press.
Fromkin Victoria dan Robert Rodman. 1993. An Introduction to Language, Florida: Harcout Brace Jovanovich Collage.
Lyons , John. 1981. Language and Linguistic, Cambridge: University Press.
Pateda, Mansoer. 1990. Aspek-Aspek Psikolinguistik,Jogjakarta: Nusa Indah.
Simanjuntak, Mangantar. 1989. Theories of The Accuisition of Phonology, Jakarta: Gaya Media Bahasa.
…………………, 1990. Teori Fitur Distingtif dalam Fonologi Generatif: Perkembangan dan Penerapannya, Jakarta: Gaya Media Pratama.
Subiyakto N, Sri Utari. 1988. Psikolinguistik: Suatu Pengantar, Jakarta: Depdikbud.
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Psikolinguistik, Bandung: Angkasa.
…………………., 1988. Pengajaran Pemerolehan Bahasa, Bandung: Angkasa.