Pemerolehan Bahasa Pertama
Pada Anak Usia 0-7 tahun Melalui Tahap-tahapnya
Saya lupa alamat webnya, maaf...
I.
PENDAHUUAN
Istilah
pemerolehan dipakai untuk padanan istilah Inggris aquisition, yakni,
proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia
belajar bahasa ibunya. Proses anak mulai mengenal komunikasi dengan
lingkungannya secara verbal disebut dengan pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan
bahasa pertama terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah
memperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, anak lebih mengarah
pada fungsi komunikasi dari pada bentuk bahasanya. Pemerolehan bahasa anak-anak
dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian
kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata
yang lebih rumit.
Pemerolehan
bahasa pertama sangat erat hubungannya dengan perkembangan perkembangan
kognitif yakni pertama, jika anak dapat menghasilkan ucapan-ucapan yang
mendasar pada tata bahasa yang rapi, tidaklah secara otomatis mengimplikasikan
bahwa anak telah menguasai bahasa yang bersangkutan dengan baik. Kedua,
pembicara harus memperoleh katagori-katagori kognitif yang mendasari berbagai makna
ekspresif bahasa-bahasa alamiah, seperti kata, ruang, modalitas, kualitas, dan
sebagainya. Persyaratan-persyaratan kognitif terhadap pengusaan bahasa lebih
banyak dituntut pada pemerolehan bahasa kedua dari pada dalam dalam pemerolehan
bahasa pertama.
Menurut
Kiparsky (Tarigan, 1986: 243) pemerolehan bahasa merupakan suatu proses
yang dipergunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis yang
makin bertambah rumit, ataupun teori-teori yang masih terpendam atau
tersembunyi yang mungkin sekali terjadi, dengan ucapan-ucapan orang tuanya
sampai dia memilih, berdasarkan suatu ukuran atau dari bahasa tersebut.
Penjelasan Kiparsky tersebut dapat dilihat dari pengamatan sehari-hari terhadap
perkembangan seorang anak (dalam hal ini anak yang normal) memproses kecakapan
berbahasanya. Biasanya yang dilakukan oleh anak-anak tersebut di antaranya
bermula dari mendengar dan mengamati bunyi-bunyi bahasa di sekelilingnya tanpa
disuruh atau disengaja. Kemudian lama kelamaan apa-apa yang didengar dan apa-apa
yang diamatinya itu berkembang terus menerus tahap demi tahap sesuai dengan
perkembangan kemampuan intelegensi dan latar belakang sosial-budaya yang
membentuknya. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemerolehan bahasa adalah suatu
proses yang dalam hal ini anak-anak belajar dan kemudian mendapatkan kelancaran
dalam berbahasa. Kelancaran berbahasa yang dimaksud adalah bahasa ibunya atau
bahasa pertama sekali yang didengarnya
II.
PEMBAHASAN
- 1. Proses pemerolehan bahasa pertama
Proses
anak mulai mengenal dengan lingkungannya secara verbal disebut dengan
peme-rolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama terjadi bila anak yang
sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa
pemerolehan bahasa anak, anak lebih mengarah pada fungsi komunikasi dari pada
bentuk bahasanya. Pemerolehan bahasa anak-anak dapat dikatakan mempunyai ciri
kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan
satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit.
Ada dua
pengertian mengenai pemerolehan bahasa. Pertama, pemerolehan mempunyai
permulaan yang mendadak tiba-tiba. Kedua, pemerolehan bahasa memiliki suatu
permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan
kognitif pralinguistik.
Pemerolehan
bahasa pertama sangat erat hubungannya dengan perkembangan kognitif yakni
pertama, jika anak dapat menghasilkan ucapan-ucapan yang berdasar pada tata
bahasa yang teratur rapi, tidaklah secara otomatis mengimplikasikan bahwa anak
telah menguasai menguasai bahasa anak yang bersangkutan dengan baik. Kedua,
pembicara harus memperoleh ‘kategori-kategori kognitif ‘yang mendasari berbagai
makna ekspresif bahasa-bahasa ilmiah, seperti kata, ruang, modalitas.
Kasualitas, dan sebagainya. Persyaratan-persyaratan kognitif terhadap penguasaan
bahasa lebih banyak dituntut pada pemerolehan bahasa kedua dari pada dalam
pemerolehan bahasa pertama.
Bahasa
bersifat universal. Pemerolehan bahasa pertama erat kaitannya dengan permulaan
yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif
pralinguistik. Pemerolehan bahasa pertama erat sekali kaitannya dengan
perkembangan sosial anak dan karenanya juga erat hubungannya denganpembentukan
identitas sosial. Mempelajari bahasa pertama merupakan salah satu perkembangan
menyeluruh anak menjadi anggota penuh suatu masyarakat. Sejak dari bayi telah
berinteraksi di dalam lingkungan sosialnya. Seorang ibu seringkali memberi
kesempatan kepada bayi untuk ikut dalam komunikasi sosial dengannya. Kala
itulah bayi pertama kali mengenal sosialisasi, bahwa dunia adalah tempat orang
saling berbagi rasa
Melalui
bahasa khusus bahasa pertama, seorang anak belajar untuk menjadi anggota
masyarakat. Bahasa pertama menjadi salah satu sarana untuk mengungkapkan
perasaan, keinginan, dan pendirian, dalam bentuk-bentuk yang tidak dapat
diterima anggota masyarakatnya, ia tidak selalu boleh mengungkapkan perasaannya
secara gamblang. Apabila seorang anak menggunakan ujaran-ujaran yang bentuknya
benar atau gramatikal, belum berarti bahwa ia telah menguasai bahasa pertama.
Agar seorang anak dapat dianggap telah menguasai bahasa pertama ada beberapa
unsur yang penting yang berkaitan dengan perkembangan jiowa dan kognitif anak
itu. Perkembangan nosi-nosi (notion) atau pemahaman seperti waktu, ruang,
modalitas, sebab akibat, dan deiktis merupakan bagian yang penting dalam
perkembangan kognitif penguasaan bahasa pertama seorang anak.
2. Periode
dan perkembangan pemerolehan bahasa pertama
Perkembangan
pemerolehan bahasa anak dapat dibagi atas tiga bagian penting yaitu:
perkembangan prasekolah, perkembangan ujaran kombinatori, dan perkembangan masa
sekolah. Perkembangan pemerolehan bahasa pertama anak pada masa prasekolah
dapat dibagi lagi atas perkembangan pralinguistik, tahap satu kata dan ujaran
kombinasi permulaan. Perkembangan pralinguistik ditandai oleh adanya pertukaran
giliran antara orang tua (khususnya ibu) dengan anak. Pada masa perkembangan
pralinguistik anak mengembangkan konsep dirinya. Ia berusaha membedakan dirinya
dengan subjek, dirinya dengan orang lain serta hubungan dengan objek dan
tjndakan pada tahap satu kata, anak terus menerus berupaya mengumpulkan nama
benda-benda dan orang yang ia jumpai.
Kata-kata
yang pertama diperolehnya tahap ini lazimnya adalah kata yang menyatakan
perbuatan, kata sosialisasi, kata yang menyatakan tempat, dan kata yang
menyatakan pemerian. Dilihat dari unsur dasar pembentukannya kombinasi yang
dibuat anak pada periode ini mengekspresikan dua unsur deretan dasar pelaku
(agen) + tindakan (aksi) + ob jek. Semua kombinasi dua unsur terjadi, misalnya
Agen + Aksi + Objek, Agen + Objek. Pada masa tahap 2 ada tiga sarana ekspresif
yang dipakai oleh anak-anak, yang dapat membuat kalimat-kalimat mereka menjadi
lebih panjang yaitu kemunculan morfem-morfim gramatikal secara inklusif dalam
ujaran anak, pengertian atau penyambungan bersama-sama hubungan dua hal
tersebut, dan perluasan istilah dalam suatu hubungan. Perkembangan ujaran
kombinatori anak-anak dapat dibagi dalam empat bagian yaitu
per-kembangan-negatif/penyangkalan, perkembangan interogatif/pertanyaan,
perkembangan penggabungan kalimat, dan perkembangan sistem bunyi.
3.
Tahap-tahap pemerolehan bahasa pertama
Perlu untuk
diketahui adalah seorang anak tidak dengan tiba-tiba memiliki tata bahasa
bahasa pertama dalam otaknya dan lengkap dengan semua kaidahnya. Bahasa pertama
diperolehnya dalam beberapa tahap dan setiap tahap berikutnya lebih mendekati
tata bahasa dari bahasa orang dewasa. Menurut para ahli, tahap-tahap ini
sedikit banyaknya ada ciri kesemestaan dalam berbagai bahasa di dunia.
Pengetahuan
mengenai pemerolehan bahasa dan tahapannya yang paling pertama didapat dari
buku-buku harian yang disimpan oleh orang tua yang juga peneliti ilmu
psikolinguistik. Dalam studi-studi yang lebih mutakhir, pengetahuan ini
diperoleh melalui rekaman-rekaman dalam pita rekaman, rekaman video, dan
eksperimen-eksperimen yang direncanakan. Ada sementara ahli bahasa yang membagi
tahap pemerolehan bahasa ke dalam tahap pralinguistik dan linguistik.
Akan tetapi, pendirian ini disanggah oleh banyak orang yang berkata bahwa tahap
pralinguistik itu tidak dapat dianggap bahasa yang permulaan karena bunyi-bunyi
seperti tangisan dan rengekan dikendalikan oleh rangsangan (stimulus)
semata-mata, yaitu respons otomatis anak pada rangsangan lapar, sakit, keinginan
untuk digendong, dan perasaan senang. Tahap linguistik terdiri
atas beberapa tahap, yaitu (1) tahap pengocehan (babbling); (2) tahap
satu kata (holofrastis); (3) tahap dua kata; (4) tahap menyerupai
telegram (telegraphic speech).
- Vokalisasi bunyi
Pada umur
sekitar 6 minggu, bayi mulai mengeluarkan bunyi-bunyi dalam bentuk teriakan,
rengekan, dengkur. Bunyi yang dikeluarkan oleh bayi mirip dengan bunyi
konsonsonan atau vokal. Akan tetapi, bunyi-bunyi ini belum dapat dipastikan
bentuknyakarena memang terdengar dengan jelas. Yang menjadi pertanyaan adalah
apakah bunyi-bunyi yang dihasilkan tadi merupakan bahasa? Fromkin dan Rodman
(1993:395) menyebutkan bahwa bunyi tersebut tidak dapat dianggap sebagai
bahasa. Sebagian ahli menyebutkan bahwa bunyi yang dihasilkan oleh bayi ini
adalah bunyi-bunyi prabahasa/dekur/vokalisasi bahasa/tahap cooing.
Setelah
tahap vokalisasi, bayi mulai mengoceh (babling). Celotehan merupakan
ujaran yang memiliki suku kata tunggal seperti mu dan da .Adapun
umur si bayi mengoceh tak dapat ditentukan dengan pasti. Mar’at (2005:43)
menyebutkan bahwa ocehan ini terjadi pada usia antara 5 dan 6 bulan.
Dardjowidjojo (2005: 244) menyebutkan bahwa celoteh terjadi pada umur 8 sampai
dengan 10 bulan. Perbedaan pendapat seperti ini bisa saja. Yang perlu diingat
bahwa kemampuan anak berceloteh tergantung pada perkembangan neurologi seorang
anak.
Pada tahap
celoteh ini, anak sudah menghasilkan celoteh vokal dan konsonan yang berbeda
seperti frikatif dan nasal. Mereka juga mulai mencampur konsonan dengan vokal.
Konsonan yang keluar pertama adalah konsonan bilabial hambat dan bilabial
nasal. Vokalnya adalah /a/ dengan demikian, strukturnya adalah K-V. Ciri lain
dari celotehan adalah pada usia sekitar 8 bulan, struktur silabel K-V ini kemudian
diulang sehingga muncullah struktur seperti: Orang tua mengaitkan kata papa
dengan ayah dan mama dengan ibu.meskipun yang ada di benak tidaklah diketahui.
Tidak mustahil celotehan itu hanyalah sekedar artikulori belaka (Darmowidjojo:
2005:245).
Begitu anak
melewati periode mengoceh, mereka mulai menguasai segmen-segmen fonetik yang
merupakan balok bangunan yang dipergunakan untuk mengucapkan perkataan. Mereka
belajar bagaimana mengucapkan sequence of segmen, yaitu
silabe-silabe dan kata-kata. Cara anak-anak mencoba segmen fonetik ini adalah
dengan menggunakan teori hypothesis-testing (Clark & Clark dalam
Ma’at 2005:43). Menurut teori ini anak-anak menguji coba berbagai hipoptesis
tentang bagaimana mencoba memproduksi bunyi yang benar. Pada tahap-tahap permulaan
pemerolehan bahasa, biasanya anak-anak memproduksi perkataan orang dewasa yang
disederhanakan sebagai berikut:
b. Tahap
satu kata atau Holofrastis
Tahap ini
berlangsung ketika anak berusia antara 12 dan 18 bulan. Ujaran-ujaran yang
mengandung kata-kata tunggal diucapkan anak untuk mengacu pada benda-benda yang
dijumpai sehari-hari. Pada tahap ini pula seorang anak mulai menggunakan
serangkaian bunyi berulang-ulang untuk makna yang sama. Pada usia ini pula,
sang anak sudah mengerti bahwa bunyi ujar berkaitan dengan makna dan mulai
mengucapkan kata-kata yang pertama. Itulah sebabnya tahap ini disebut tahap
satu kata satu frase atau kalimat, yang berarti bahwa satu kata yang
diucapkan anak itu merupakan satu konsep yang lengkap. Misalnya “mam” (Saya minta
makan); “pa” (Saya mau papa ada di sini). “Ma” (Saya mau mama ada di sini).
Mula-mula,
kata-kata itu diucapkan anak itu kalau rangsangan ada di situ, tetapi sesudah
lebih dari satu tahun, “pa” berarti juga “Di mana papa?” dan “Ma” dapat juga
berarti “Gambar seorang wanita di majalah itu adalah mama”
Menurut
pendapat beberapa peneliti bahasa anak, kata-kata dalam tahap ini mempunyai
tiga fungsi, yaitu kata-kata itu dihubungkan dengan perilaku anak itu sendiri
atau suatu keinginan untuk suatu perilaku, untuk mengungkapkan suatu perasaan,
untuk memberi nama kepada suatu benda. Dalam bentuknya, kata-kata yang
diucapkan itu terdiri dari konsonan-konsonan yang mudah dilafalkan seperti
m,p,s,k dan vokal-vokal seperti a,i,u.e.
c. Tahap dua
kata, Satu frase
Tahap ini
berlangsung ketika anak berusia 18-20 bulan. Uiaran-ujaran yang terdiri atas
dua kata mulai muncul seperti mama mam dan papa ikut. Kalau pada tahap
holofratis ujaran yang diucapkan si anak belum tentu dapat ditentukan makna,
pada tahap dua kata ini, ujaran si anak harus ditafsirkan sesuai dengan
konteksnya. Pada tahap ini pula anak sudah mulai berpikir secara “subjek +
predikat” meskipun hubungan-hubungan seperti infleksi, kata ganti orang dan
jamak belum dapat digunakan. Dalam pikiran anak itu, subjek + predikat” dapat
terdiri atas kata benda + kata benda, seperti “Ani mainan” yang
berarti “Ani sedang bermain dengan mainan” atau kata sifat + kata
benda, seperti “kotor patu” yang artinya “Sepatu ini kotor” dan sebagainya.
d. Ujaran
Telegrafis
Pada usia 2
dan 3 tahun, anak mulai menghasilkan ujaran kata ganda (multiple-word utterences)
atau disebut juga ujaran telegrafis. Anak juga sudah mampu membentuk kalimat
dan mengurutkan bentuk-bentuk itu dengan benar. Kosakata anak berkembang dengan
pesat mencapai beratus-ratus kata dan cara pengucapan kata-kata semakin mirip
dengan bahasa orang dewasa.
Pada usia
dini dan seterusnya, seorang anak belajar bahasa pertamanya secara bertahap
dengan caranya sendiri. Ada teori yang mengatakan bahwa seorang anak dari usia
dini belajar bahasa dendan menirukan. Namun, Fromkin dan Rodman (1993:403)
menyebutkan hasil tiruan yang dilakukan oleh si anak tidak akan sama seperti
yang diinginkan oleh orang dewasa. Jika orang dewasa meminta sang anak untuk
menyebutkan “He’s going out”, si anak akan melafalkan dengan “he go out”. Ada
lagi teori yang mengatakan bahwa seorang anak belajar dengan cara penguatan (reinforcement),
artinya kalau anak belajar uiaran-ujaran yang benar, ia mendapat penguatan
dalam bentuk pujian, misalnya bagus, pandai, dan sebagainya.Akan tetapi bila
ujaran-ujarannya salah,ia mendapatkan “penguatan negatif”, misalnya lagi,
salah, tidak baik. Pandangan ini berasumsi bahwa anak itu harus trus menerus
diperbaiki bahasanya kalau salah dan dipuji jika ujarannya benar. Teori ini
tampaknya belum dapat diterima seratus persen oleh para ahli psikolinguistik.
Yang benar ialah seorang anak membentuk aturan-aturan dan menyusun tata bahasa
sendiri. Tidak semua anak menunjukkan kemajuan-kemajuan yang sama meskipun
semuanya menunjukkan kemajuan-kemajuan yang reguler.
4.Teori-teori
tentang pemerolehan bahasa pertama
a. Teori
Behaviorirme
Teori
behaviorisme menyoroti aspek perilaku kebahasaan yang dapat diamati langsung
dan hubungan antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (response ).
Perilaku bahasa yang efektif adalah membuat reaksi yang tepat terhadap
rangsangan. Reaksi ini akan menjadi suatu kebiasaan jika reaksi tersebut
dibenarkan. Dengan demikian, anak belajar bahasa pertamanya.
B.F. Skinner
adalah tokoh aliran behaviorisme. Menurut Skinner, perilaku kebahasaan sama
dengan perilaku yang lain, dikontrol oleh konsekuensinya. Apabila suatu usaha
menyenang-kan, perilaku itu terus akan dikerjakan. Sebaliknya, apabila tidak
menguntungkan, perilaku itu akan ditinggalkan. Singkatnya, apabila ada reinforcement
yang cocok, perilaku akan berubah dan inilah yang disebut belajar.
Menurut
Brown (Pateda, 1990: 43) pendekatan behavioristik atau kaum impiris yang
dipelopori oleh Skinner, anak yang baru lahir ke dunia ini dianggap kosong dari
bahasa atau kosong dari struktur linguistik yang dibawanya. Anak tersebut
ibarat tabularasa atau kertas putih yang belum ditulisi, lingkungannyalah yang
akan memberi corak dan warna pada kertas itu. Namun, pemerolehan seperti ini
memerlukan penguatan (reinforcment)
b. Teori
Nativisme
Chomsky
merupakan penganut nativisme. Menurutnya, bahasa hanya dapat dikuasai oleh
manusia, binatang tidak mungkin dapat menguasai bahasa manusia. Pendapat
Chomsky didasarkan pada beberapa asumsi. Pertama, perilaku berbahasa adalah
sesuatu yang diturunkan (genetik), setiap bahasa memiliki perkembangan yang
sama (merupakan sesuatu yang universal), dan lingkungan yang memiliki peran
kecil di dalam proses pematangan bahasa. Kedua, bahasa dapat dapat dikuasai
dalam waktu yang relatif singkat. Ketiga, lingkungan bahasa anak tidak dapat
menyediakan data yang cukup bagi penguasaan tata bahasa yang rumit dari orandg
dewasa.Menurut aliran ini, bahasa adalah sesuatu yang kompleks dan rumit sehingga
mustahil dapat dikuasai dalam waktu yang singkat melaui “peniruan”. Nativisme
juga percaya bahwa setiap manusia yang lahir sudah dibekali dengan suatu alat
untuk memperoleh bahasa (Language Acquisition Device, disingkat LAD). Neil
(Tarigan, 1998:239) mempunyai 4 ciri utama, yaitu (1) kemampuan untuk
membedakan bunyi-bunyi yang lain; (2) kemampuan mengorganisasikan
peristiwa-peristiwa linguistik ke dalam berbagai kelas; (3) pengetahuan
mengenal jenis sistem linguistik tertentu sajalah yang mungkin mengungkapkan
hal itu, sedangkan yang lain-lainnya tidak; (4) kemampuan memanfaatkan secara
konstan evaluasi untuk membangun sistem yang mungkin paling sederhana dari data
yang ditemukan. Mengenai bahasa apa yang akan diperoleh anak bergantung pada
bahasa yang digunakan oleh masyarakat sekitar. Sebagai contoh, seorang anak
yang dibesarkan di lingkungan Amerika sudah pasti bahasa Inggris menjadi bahasa
pertamanya.
(Bolinger,
1975: 267) berpendapat bahwa anak-anak yang lahir ke dunia ini telah membawa
kapasitas atau potensi bahasa yang akan berkembang nantinya sesuai dengan
proses kematangan jntelektual anak itu. Potensi bahasa ini akan berkembang bagi
anak-anak apabila saatnya sudah tiba.
Semua anak
yang normal dapat belajar bahasa apa saja yang digunakan oleh masyarakat
sekitar. Apabila diasingkan sejak lahir, anak ini tidak memperoleh bahasa.
Dengan kata lain, LAD tidak mendapat “makanan” sebagaimana biasanya sehingga
alat ini tidak bisa mendapat bahasa pertama sebagaimana lazimnya seperti anak
yang dipelihara oleh srigala (Baradja, 1990:33). Tanpa LAD, tidak mungkin
seorang anak dapat menguasai bahasa dalam waktu singkat dan bisa
menguasai sistem bahasa yang rumit. LAD juga memungkinkan seorang anak dapat
membedakan bunyi bahasa dan bukan bunyi bahasa.
c. Teori
Kognitivisme
Menurut
teori ini, bahasa bukanlah, suatu ciri alamiah yang terpisah melainkan salah
satu diantara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Bahasa
disertukturi oleh nalar. Perkembangan bahasa harus berlandaskan pada perubahan
yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi. Jadi, urutan-urutan
perkembangan kognitif mementukan perkembangan bahasa (Chaer, 2003: 223). Hal
ini tentu saja berbeda dengan pendapat Chomsky yang menyatakan bahwa mekanisme
umum dari perkembangan kognitif tidak dapat menjelaskan struktur bahasa yang
kompleks, abstrak, dan khas. Begitu juga dengan slingkungan berbahasa. Bahasa
harus diperoleh secara alamiah.
Menurut
teori kognitivisme, yang paling utama harus dicapai adalah perkembangan
kognitif, barulah pengetahuan dapat keluar dalam bentuk keterampilan berbahasa.
Dari lahir sampai 18 bulan, bahasa dianggap belum ada. Anak hanya mengenal
benda yang dilihat secara langsung. Pada akhir usia satu tahun, anak sudah
dapat mengerti bahwa benda memiliki sifat permanen sehingga anak mulai
menggunakan simbol untuk mempresentasikan benda yang tidak hadir dihadapannya.
Simbol ini kemudian berkembang menjadi kata-kata awal yang diucapkan anak.
Pendekatan
kognivistik yang dipelopori oleh Louis Bloom (Pateda,1998) memandang bahwa
pemerolehan bahasa anak-anak harus dilihat dari fungsi bahasa sebagai alat
komunikasi. Itulah sebabnya penganut aliran ini membantah bahwa kalimat dua
kata (pivot grammar) yang dikemukakan kaum mentalis, mungkin saja
mengandung tafsiran yang lebih dari satu, karena menurut pandangan
kognitivistik anak-anak bukan belajar struktur luar (surface structure )
tetapi mempelajari struktur dalam (deep structure) dari bahasa
itu.
D. Teori
Interaksionisme
Teori
interaksionisme beranggapan bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil interaksi
antara kemampuan mental pembelajaran dan lingkungan bahasa. Pemerolehan
bahasa itu
berhubungan
dengan adanya interaksi antara masukan “input” dan kemampuan internal yang
dimiliki pembelajar. Setiap anak sudah memiliki LAD sejak lahir. Namun, tanpa
ada masukan yang sesuai tidak mungkin anak dapat menguasai bahasa tertentu
secara otomatis.
Mengenai
teori-teori pemerolehan bahasa disesuaikan dengan struktur bahasa, yaitu
fonologi, sintaksis dan semantik yang diungkapkan oleh Pateda (1988). Menurut
Pateda ada beberapa teori struktural sejagat, (Jacobson), teori semantik
sejagat (Shvachkin), teori behavioris (Mowrer), teori bahavioris sejagat
(Olmsted), teori generatif struktural (Moskowizt), teori fonologi alami
(Stampe), teori prosodik akustik (Weterson), teori penuh sistem logogen
(Smith), teori keutamaan pemerolehan leksikon (Ferguson), teori kontras dan
proses (Ingram), teori pendekatan pemecahan masalah (Kiparsky dan Menn), dan
teori sintetik Gestalt (Peters). Teori-teori tentang pemerolehan sintaksis
menggunakan teori formal.
(Brown, dkk)
yang berfokus pada pengarektisasian bentuk atau struktur ucapan anak-anak.
Teori fungsional yang mengemukakan bahwa terdapat tiga perkembangan bahasa pada
anak yang dituturkannya dengan konstruksi negasi, konstruksi pertanyaan, dan
konstruksi verba “to be” dalam bahasa Inggris, sedangkan teori tentang semantik
menggunakan teori fungsional yang mengaitkan pemaknaan ucapan anak dengan
situasi waktu itu. Teori sistem semantik yang menyangkut pemerolehan pada
ciri-ciri individual anak secara semesta, dan teori konseptual yang menyatakan
bahwa ucapan-ucapan yang dihasilkan anak-anak sebagian didesak oleh berbagai
hal yang mereka pikirkan mengenai hal itu.
Penganalisaan
ketiga komponen tersebut (fonologi, sintaksis, dan semantik) merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari apa yang biasa dinamakan pemerolehan bahasa.
Pemerolehan
dalam bidang Fonologi
Pada waktu
dilahirkan, anak hanya memiliki sekitar 20% dari otak dewasanya. Ini berbeda
dengan binatang yang sudah memiliki sekitar 70%. Karena perbedaan inilah
maka binatang sudah dapat melakukan banyak hal segera sesudah lahir, sedangkan
manusia hanya bisa menangis dan menggerak-gerakkan badannya. Proposi yang
ditakdirkan kecil pada manusia ini mungkin memang “dirancang” agar pertumbuhan
otaknya proposional pula dengan pertumbuhan badannya.
Pada umur
sekitar 6 minggu, anak mulai mengeluarkan bunyi-bunyi yang mirip dengan bunyi
konsonan atau vokal.Bunyi-bunyi ini belum dapat dipastikan bentuknya karena
memang terdengar dengan jelas. Proses bunyi-bunyi seperti ini dinamakan cooing,
yang telah diterjemahkan menjadi dekutan (Dardjowidjojo 2000: 63). Anak
mendekutkan bermacam-macam bunyi yang belum jelas identitasnya.
Pada sekitar
umur 6 bulan, anak mulai mencampur konsonan dengan vokal sehingga membentuk apa
yang dalam bahasa Inggris dinamakan babbling, yang telah diterjemahkan
menjadi celotehan (Darmowidjojo: 2000: 63). Celotehan dimulai dengan konsonan
dan diikuti diikuti oleh sebuah vokal. Konsonan yang keluar pertama adalah
konsonan bilabial hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/. dengan
demikian, strukturnya adalah CV. Ciri lain dari celotehan adalah bahwa CV ini
kemudian diulang sehingga muncullah struktur seperti berikut: C1 V1
C! V! C1 V!……papapa mamama bababa…..
Orang tua
kemudian mengaitkan “kata” papa dengan ayah mama dengan ibu meskipun apa yang
ada dibenak anak tidaklah kita ketahui; tidak mustahil celotehan itu hanyalah
sekedar latihan artikulori belaka. Konsonan dan vokalnya secara gradual berubah
sehingga muncullah kata-kata seperti dadi, dida, tita, dita,mama, mami,
dan sebagainya.
Pemerolehan
dalam bidang Sintaksis
Dalam bidang
sintaksis, anak memulai berbahasa dengan mengucapkan satu kata (atau bagian
kata). Kata ini, bagi anak sebenarnya adalah kalimat penuh, tetapi karena dia
belum dapat mengatakan lebih dari satu kata, dia hanya mengambil satu kata dari
seluruh kalimat
itu. Yang
menjadi pertanyaan adalah kata mana yang dia pilih? Seandainya anak itu bernama
Dodi dan yang ingin ia sampaikan adalah Dodi mau bubuk, dia akan memilih
di (untuk Dodi), mau (untuk mau), ataukah buk
(untuk bubuk)? Kita pasti akan menerka bahwa dia akan memilih buk. Tapi
mengapa demikian?
Dalam pola
pikir yang masih sederhana pun tampaknya anak sudah mempunyai pengetahuan
tentang informasi lama versus informasi baru. Kalimat diucapkan untuk
memberikan informasi baru kepada pendengarnya. Dari tiga kata pada kalimat Dodi
mau bubuk, yang baru adalah kata bubuk. Karena itulah anak
memilih buk, dan bukan di, atau mau. Dengan singkat dapat
dikatakan bahwa dalam ujaran yang dinamakan Ujaran Satu Kata, USK anak tidak
sembarangan saja memilih kata yang memberikan informasi baru.
Pemerolehan
dalam bidang Semantik
Dari segi
sintaksisnya, USK (Ujaran Satu Kata) sangatlah sederhana karena memang hanya
terdiri dari satu kata saja, bahkan untuk bahasa seperti bahasa Indonesia hanya
sebagian saja dari kata itu. Namun dari segi semantiknya, USK adalah kompleks
karena satu kata ini bisa memiliki lebih dari satu makna. Anak yang
mengatakan /b/ untuk mobil bisa bermaksud mengatakan:
- Ma, itu mobil.
- Ma, ayo kita ke mobil.
- Aku mau ke mobil.
- Aku minta (mainan) mobil.
- Aku nggak mau mobil.
- Papa ada di mobil, dan sebagainya
Kata
mempunyai jalur hierarkhi semantik. Perkutut Bangkok adalah satu jenis
perkutut, dan perkutut adalah satu jenis perkutut, dan perkutut adalah satu
dari sekian banyak macam burung. Sementara itu, burung adalah salah satu
binatang, dan binatang adalah salah satu wujud dari makhluk. Dalam hal
pemerolehan kata, anak tidak akan memperoleh kata yang hirarkhinya terlalu
tinggi atau terlalu rendah. Anak akan mengambil apa yang dinamakan basic
level category , yakni, suatu kategori dasar yang tidak terlalu tetapi juga
tidak terlalu rendah. Dalam contoh binatang di atas, anak tidak akan mengambil
binatang atau makhluk; dia juga tidak akan mengambil perkutut. Dia akan
mengambil kata yang dasar, yakni, burung. Tentu saja inputnya adalah
dari bahasa sang ibu tetapi bahasa sang ibu juga mengikuti prinsip ini.
5. Srategi
pemerolehan bahasa pertama
Srategi
pertama dalam pemerolehan bahasa dengan berpedoman pada: tirulah apa yang
dikatakan orang lain. Tiruan akan digunakan anak terus, meskipun ia sudah dapat
sempurna melafalkan bunyi. Ada berbagai ragam peniruan atau imitasi, yaitu
imitasi spontan atau spontaneous imitation, imitasi pemerolehan atau elicited
imitation, imitasi segera atau immediate imitation, imitasi
terlambat atau delayed imitation dan imitasi dengan perluasan atau imitation
with expansion, imitasi dengan pengurangan atau reduced imitation.
Strategi
kedua dalam pemerolehan bahasa adalah strategi produktivitas. Produktivitas
berarti keefektifan dan keefisienan dalam pemerolehan bahasa yang berpegang
pada pedoman, buatlah sebanyak mungkin dengan bekal yang telah anda miliki atau
anda peroleh. Produktivitas adalah ciri utama bahasa. Dengan satu kata seorang
anak dapat “bercerita atau mengatakan “ hal sebanyak mungkin. Kata papa
misalnya dapat mengandung berbagai makna bergantung pada situasi dan intonasi.
Srategi
ketiga berkaitan dengan hubungan umpan balik antara produksi ujaran dan
responsi. Dengan strategi ini anak-anak dihadapkan pada pedoman: hasilkanlah
ujaran dan lihatlah bagaimana orang lain memberi responsi. Strategi produktif
bersifat “sosial” dalam pengertian bahwa strategi tersebut dapat meningkatkan
interaksi dengan orang lain dan sementara itu bersifat “kognitif” juga. Hal itu
dapat memberikan umpan balik kepada pelajar mengenai ekspresinya sendiri
terhadap makna dan juga memberinya sampel yang lebih banyak, yaitu sampel
bahasa untuk digarap atau dikerjakan.
Strategi
keempat adalah prinsip operasi. Dalam strategi ini anak dikenalkan dengan
pedoman: gunakan beberapa “prinsip operasi umum untuk memikirkan serta
menetapkan bahasa. Selain perintah terhadap diri sendiri oleh
anak,prinsip operasi ini juga menyarankan larangan yang dinyatakan dalam avoidance
terms, misalnya: hindari kekecualian, hindari pengaturan kembali.
III.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian
ini menggunakan metode deskriptif analitis, dengan artian setiap data yang
diperoleh dideskripsikan dan dianalisis apa adanya. Penggunaan metode ini
menggunakan teknik-teknik sebagai berikut: (1) mengamati sampel dalam bahasa,
(2) mencatat ucapan-ucapan sampel baik secara langsung maupun tidak langsung
yaitu informasi-informasi yang diperoleh dari orang tuanya, (3) menganalisis
data-data tersebut sesuai dengan teori-teori yang telah ditetapkan.
Penelitian
ini secara umum bertujuan untuk mengetahui proses pembelajaran bahasa pertama
bagi anak-anak, sedangkan secara khusus bertujuan untuk mengetahui dn
mengekspresikan beberapa hal yang berhubungan dengan tahap-tahap pemerolehan
bahasa anak, sebagai berikut: (a) Mendeskripsikan perolehan-perolehan yang
dilakukan oleh anak-anak, dalam tahap pralinguistik; (b) Mendeskripsikan
perolehan-perolehan didapat oleh anak-anak dalam tahap linguistik, dan (c)
Mendeskrpsikan perolehan-perolehan yang dilaksanakan oleh anak-anak dalam tahap
kompetensi lengkap.
Dalam
penelitian yang sederhana ini, peneliti mencoba mencoba membahas beberapa hal
yang menyangkut pemerolehan bahasa pada anak-anak. Sehubungan dengan
bahasa pada anak-anak tersebut, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan
sekaligus menjadi fokus dalam penelitian ini. Pertama, penelitian ini
menjelaskan pemerolehan yang berhubungan dengan “tahap yang dilalui oleh
anak-anak dalam proses pemerolehan bahasanya”. Tahap-tahap pemerolehan bahasa
tersebut, difokuskan pada tiga hal, yaitu; tahap pra linguistik, tahap linguistik,
dan tahap kompetensi lengkap. Kedua, ketika melalui ketiga proses tahapan
pemerolehan bahasa tersebut, umumnya anak-anak berumur mulai 0 tahun sampai
pada umur 5, bahkan beberapa teori mengungkapkan sampai umur 8 tahun. Ketiga,
walaupun penelitian sederhana ini dilakukan secara singkat, namun pelaksanaan
pengambilan data disesuaikan dengan umur anak selaras dengan tahap perkembangan
yang dilaluinya. Jadi, dalam penelitian ini ada beberapa anak, yang dijadikan
sampel, yang akan diamati perkembangan bahasanya.
Penelitian
ini menggunakan populasi anak-anak usia 0-7 tahun, yang dengan sampel 12
orang yang terdiri dari 6 orang perempuan dan 6 orang laki-laki dengan
ketentuan 2 orang untuk masing-masing tahapan pemerolehan bahasa tersebut.
Alasan memilih dua orang untuk masing-msing tahapan adalah supaya keduanya
saling melengkapi datanya. Untuk tahap pralinguistik pertama: 2 orang yaitu
Pipit (5 bulan)dan Levi (6 bulan), tahap pralinguistik kedua; 2 orang
yaitu Yuni (8 bulan) dan Bobi (11 bulan). Tahap linguistik pertama; 2 orang
yaitu Puri (13 bulan) dan Dedi (17 bulan), tahap linguistik kedua: 2 orang
yaitu Nana (20 bulan) dan Yunus (24 bulan), tahap linguistik ketiga: Dewi (30
bulan) Bambang (35 bulan), dan tahap keempat; 2 orang yaitu Prita (4 tahun)
Frid (5 tahun), serta untuk tahap kompetensi lengkap 2 orang yaitu Wika (6,5
tahun) dan Hanafi (7 tahun).
Lokasi
penelitian ini adalah Kompleks Taman Asri Ciledug Tangerang. Artinya semua
anak-anak yang dijadikan sampel penelitian ini bertempat tinggal di Kompleks
Taman Asri tersebut. Alasan pemilihan tempat tersebut semata-mata karena
peneliti bertempat tinggal di kompleks tersebut .Dengan demikian, setiap hari
peneliti dapat mengamati anak-anak tersebut. Hal ini mengingat waktu yang
dijadwalkan untuk penelitian ini relatif singkat. Karena itulah, penelitian
singkat ini lebih layak disebut sebagai sebuah pengamatan awal.
Seperti yang
diungkapkan para ahli bahwa pada tahap-tahap pralinguistik pertama, bahasa
anak-anak mempunyai cIri tersendiri. Gejala-gejala yang muncul ditandai dengan
menangis, menjerit, mendekut, dan tertawa. Anak-anak seolah-olah dengan
kegiatan-kegiatan di atas menghasilkan jenis-jenis yang beragam. Bunyi-bunyi
yang dihasilkan anak-anak itu tidaklah merupakan ucapan-ucapan yang berdasarkan
organisasi fonemik dan fonetik, atau bukanlah merupakan bunyi-bunyi ujaran.
Anak-anak menghasilkan suaranya sebagai alat bermain, seperti mereka
menggunakan anggota tubuhnya yang lain. Namun, bunyi-bunyi yang mereka hasilkan
itu tidak dapat digolongkan sebagai perfomasi linguistik. Biasanya anak-anak
melewati tahap pralinguistik ini pada usia 0 sampai 6 bulan. Suara, jeritannya,
dan tertawanya membuat lucu suasananya atau bahkan “bikin gregetan”. Di manapun
orang tua berada rasanya pengin cepet-cepet pulang untuk mendengar celotehan
dan tertawanya. Bahkan juga terjadi ketika pasangan itu mau menikah salah satu
dari orang tua mereka tidak setuju. Tetapi begitu melihat cucunya yang mulai
lucu, lunturlah segala rasa itu dan yang ada hanya rasa sayang, Mereka
mengajak ngomong dengan senyuman dan “kudangan” (bahasa Jawa) lalu anak itu
hanya menjawab dengan mulut yang lucu serta bunyi yang dikeluarkan tanpa tahu
artinya juga ketawa yang membuat orang jadi gregetan.Hal ini terjadi pada Pipit
dan Levi. Saya juga masih teringat waktu cucu saya seumur anak tersebut. Karena
tinggal serumah jadi lupa kalau itu cucu. Rasanya seperti punya anak lagi. Dan
masih ada tambahan pengalaman lagi yaitu seorang cucu dari keponakan namanya
Dandi (laki-laki), dapat mengangkat badannya sendiri bila minta gendong.
Saya sendiri juga heran kenapa anak umur 5 bulan kuat banget ngangkat badannya.
Badannya kekar dan tulang-tulangnya memang kuat. Anak-anak yang dipakai dalam
penelitian ini tidak ada yang sekokoh dia. Mungkin karena makanan atau
keturunan. Memang bapaknya anak itu pendek dan kekar badannya. Tetapi
adik-adiknya tidak. Sekarang sudah sekolah tetapi tulangnya tidak sekekar waktu
masih kecil. Jadi memang anak waktu kecil akan berbeda jika nanti sudah besar
karena beberapa faktor.
Tahap
pralinguistik kedua disebut juga tahap “omong kosong” (Tarigan, 1998; 264),
atau tahap “pengocehan” (Subiyakto, 1998: 70). Dalam tahap ini anak-anak akan
mengucapkan sejumlah ujaran tidak bermakna. Kalaupun bermakna, itu hanya
merupakan sesuatu kebetulan saja. Pengocehan ini seringkali dihasilkan dengan
intonasi kalimat kadang-kadang dengan tekanan menurun seolah-olah
merupakan sebuah pertanyaan. Namun, ocehan- ocehan itu belum juga dapat
digolongkan sebagai perfomasi linguistik, karena hanya baru bersifat omong
kosong dan tidak termasuk pada masukan akustik.
Namun, tahap
ini penting artinya, karena dalam tahap ini anak-anak akan belajar menggunakan
bunyi bunyi ujar yang benar dan dapat diterima oleh lingkungannya, dan membuang
bunyi ujar yang salah dan tidak dapat diterima oleh lingkungannya (Subiyakto,
1998: 71). Tahap ini biasanya dialami oleh anak-anak yang berusia 6 sampai
dengan 12 bulan.
Omong kosong
yang dilakukan oleh dua orang sampel yaitu Yuni dan Bobi adalah ba, ba,
ba, ta,ta, ta, ma ma,ma, yang berarti dia menginginkan sesuatu; dan pa,pa, pa
yang tidak selalu berarti papa tetapi bisa saja berarti minta makan atau minum.
Ocehan-ocehan ini ada kalanya dengan memasukkan jari kedalam mulutnya sehingga
kita mengira dia haus atau lapar. Ada yang memang haus atau lapar, tetapi ada
juga yang tidak. Ternyata dia minta keluar karena udara di dalam panas.
Biasanya anak lebih mudah mengucapkan ma,ma, ma, dari pada pa,pa,pa,.Hal ini
terjadi pada Bobi. Dia selalu menyebut pa,pa,pa dan ta, ta, ta sedangkan
ma,ma,ma, tidak pernah disebut. Secara kebetulan ibunya bekerja dari pagi
sampai malam dan bapaknya jam 4 sudah ada di rumah. Namun ini bukan berarti
hanya lebih dekat dengan bapaknya karena ketika bapaknya sampai di rumah
lansung tidur dulu dan anaknya diajak main oleh pengasuhnya. Ketika ibunya
pulang walaupun sudah malam tentu langsung anak dulu yang dipegang (sesudah
cuci tangan) dan bila sudah tidur ya malamnya bila bangun minta minum air susu
ibunya. Jadi botol hanya digunakan bila ibunya tidak ada. Sewaktu ibunya di
rumah kata yang diucapkan ta,ta,ta, dan pa,pa,pa. Ibunya juga tidak sakit hati
karena kata-kata itu hanya omong kosong belaka tidak ada artinya. Yuni
tidak demikian halnya. Dia mengucapkan celotehan lengkap ta,ta,ta, ma,ma,ma, pa,pa,pa.
Perbedaan ini sepertinya belum bisa menentukan bahwa Yuni lebih pandai dari
pada Bobi. Fisiknya Yuni lebih lemah. Bila diajak pergi pulangnnya langsung
rewel. Jadi pada pokoknya dalam tahap ini mereka baru mampu mengoceh yang dapat
juga berupa bunyi-bunyi tidak tentu untuk mengungkapkan atau menyampaikan
sesuatu kepada orang sekelilingnya.
Pada tahap
linguistik pertama, bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap pada sampel
sampel di atas sudah dapat dimasukkan ke dalam perfomansi linguistik. Anak-anak
sudah mulai mengucapkan perkataan yang pertama, meskipun belum lengkap
seperti, “atit” yang berarti “sakit”, agi yang berarti “lagi”, itut yang berati
“ikut”,atau atoh yang berarti “jatuh”. Tahap linguistik ini dapat dibagi
menjadi 4 tahap, yaitu tahap linguistik pertama, tahap linguistik kedua,tahap
linguistik ketiga, dan tahap linguistik keempat atau yang terakhir.
Menurut para
ahli, tahap linguistik pertama ini disebut juga tahap kalimat satu kata atau
holoprase, yang berarti bahwa satu kata sama dengan satu frase atau kalimat,
contoh lain kata “pis” dapat berarti “anak-anak ingin pipis”, buk berarti anak
ingin bubuk au bisa berari “mau” atau tidak mau. Ini harus bisa membaca gelagat
si anak. Kalau sudah bisa menggelengkan atau menganggukkan kepala itu mudah.
Tetapi kalau belum, itu yang membingungkan. Karena kalau tidak sesuai dengan
apa yang dimaksud anak akan mrnangis. Fenomina lain adalah banyak sekali
terdapat kedwimaknaan ujaran anak-anak pada tahap ini. Oleh karena itu, sebelum
menafsirkan ujaran anak-anak terlebih dahulu lingkungannya harus mengamati apa
yang sedang dilakukan oleh anak-anak itu. Misalnya ketika Puri dan Dedi
mengucapkan tu bukan berarti “itu”, tetapi ia sebetulnya
menginginkan “sesuatu yang terletak di atas meja”, misalnya. Begitu juga dengan
ni bukan berarti “ini” tetapi ia menginginkan “seseorang mendekat
padanya”.
Beberapa
ahli berpendapat bahwa kata-kata yang diucapkan oleh anak-anak pada tahap ini
mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut: (a) dihubungkan dengan perilaku anak-anak
itu sendiri atau suatu keinginan untuk perilaku, (b) untuk mengungkapkan suatu
perasaan, (c) untuk memberi nama suatu benda (Subiyakto, 1988: 72). Tahap ini
dialami oleh Puri dan Dedi sebagai sampel penelitian.
Tahapan yang
dilewati oleh Nana dan Yunus adalah tahap linguistik kedua disebut juga tahap
ucapan dua kali atau satu frase. Kalimat dua kata ini muncul ketika mereka
mulai mengerti suatu ‘tema’ dan mencoba mengekspresikannya dengan makna
berbeda-beda, misalnya makna kepunyaan (milik) Nana mengucapkan mobil Nana
yang berarti “mobil ini milik Nana”, kemudian makna yang menyatakan sifat
misalnya baju merah dan sebagainya. Anak-anak seusia ini pada umumnya
belum dapat mengatakan “ r” dengan jelas, misalnya lambut (rambut), melah
(merah), bubul (bubur), bulung (burung)dan juga “ s” misalnya: tutah (susah),
tudah (sudah), tayang (sayang), pedeng (pedes), tambeng (sambel). Biasanya
anak-anak melalui tahap ini pada usia 18 bulan atau 2 tahun.Pada umur inilah
anak-anak baru mulai mengalami tahap-tahap seperti ini.
Yang perlu
dicatat pada tahap ini adalah anak-anak belum atau tidak menggunakan
verba-verba yang mereka pakai, misalnya jarang memakai preposisi “Aku pergi
bude” “ Aku main mol” “ Aku kamar mandi” yang berarti “aku pergi ke
tempat bude”, “aku main ke mol” , Aku ke kamar mandi”, dan kata tugas lainnya Nana
mandi kolam renang , Yunus tidur kamar yang berarti
“Nana mandi di kolam renang” dan “ Yunus tidur di kamar”
Para pakar
menyebut tahap linguistik ketiga sebagai tahap menyerupai telegraf (Subiyakto,
1988: 72) atau disebut juga tahap pengembangan pengembangan tata bahasa
(Tarigan, 1988: 266). Selama tahap ketiga ini sampel Dewi dan Bambang
mengembangkan sejumlah sarana ketatabahasaan. Anak-anak sudah mulai menambah
kata-kata pada kalimatnya,tetapi ucapan-ucapan mereka semakin bertambah rumit.
Beberapa kata tugas sudah mulai dimunculkan dan hubungan sintaktik sudah mulai
tampak,meskipun yang mereka bicarakan sering yang berhubungan dengan dirinya
sendiri. Contohnya antara lain Babang manjat jatuh, yang dimaksud
“Bambang tadi memanjat lalu jatuh”. Ewi ikut nggak? Yang dimaksud “ Dewi boleh
ikut nggak? Situasinya mamanya mau pergi maka dia mau ikut, tetapi malah
bertanya.
Tahap
linguistik keempat terdapat pada sampel Prita dan Frid. Frid adalah cucu saya
sendiri. Sekarang dia sudah naik ke T.K besar. Sebelum dia masuk ke T.K besar
nanti dia sudah bisa membaca dan menulis serta sudah bisa menghitung sampai
200. Warna-warna dalam bahasa Inggris sudah fasih semua dan hitungan dalam
bahasa Inggris dari nol sampai 100 diucapkan dengan lancar. Hitungan
tambah-tambahan dengan jari sudah bisa sampai dengan 10. Ini semua adalah hasil
pengajaran dari omnya yang mempunyai Ipat. Dia suka sekali main Ipat. Tetapi
sebelum main, harus belajar dulu. Jadi sistemnya pemberian hadiah yang paling
dia sukai supaya mau belajar. Akhirnya dapat membuahkan hasil. Jadi dalam tahap
ini anak sudah mengarah ke tahap kompetensi lengkap.
Tahap
kompetensi lengkap disebut juga oleh para ahli sebagai tahap perkembangan
bahasa sesudah usia 5 tahun. Tampaknya pada tahap ini Wika dan Hanafi telah
dapat menguasai bahasa pertamanya dan ketrampilan-ketrampilan bagaimanakah
penyampaiannya dengan memadai sehingga orang sudah dapat memahaminya. Misalnya:
Aku ke sekolah pagi sekali yang berarti “Aku
berangkat ke sekolah pagi sekali”, aku makan kue adik selalu minta
“Ketika aku makan kue adik selalu minta”, Jangan ambil buku kakak dek nanti
sobek, “Jangan diambil buku kakak nanti sobek” dan mama tak sayang aku
tapi adik, yang berarti “Mama tak sayang aku tapi adik”.
Beberapa
ahli menyatakan bahwa dalam tahap ini terdapat beberapa perkembangan pada
perolehan bahasa anak-anak, antara lain; Smith menyatakan bahwa antara usia 5-8
tahun muncul ciri-ciri baru, yaitu kemampuan untuk mengerti hal-hal yang
abstrak pada taraf yang lebih tinggi, kemudian pda usia 7-8 tahun barulah mulai
bahwa bahasa menjadi alat yang betul-betul penting bagi mereka untuk melukiskan
dan menyampaikan pikirannya. Di samping itu, terdapat pula penambahan kosa
kata, penggunaan konjungsi, preposisi yang lebih tepat, dan penggunaan secara
tepat kata-kata yang mempunyai makna fisik dan psikis, menggunakan kalimat
pasif, serta lebih ekonomis dalam mengungkapkan sesuatu serta menghindari
hal-hal yang berlebihan (Subiyakto, 1988: 89-90).
IV.
Kesimpulan
Dari
pengamatan sepintas terhadap 12 orang anak usia 0-7 tahun dalam proses
pemerolehan bahasanya, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: yaitu
melalui tiga tahap perkembangan pemerolehan bahasanya sesuai dengan usia-usia
tertentu. Tahap pertama disebut tahap pralinguistik. Pada tahap ini,
pemerolehan bahasa anak melalui dua tahapan pula, yaitu tahap pralinguistik
pertama dan pralinguistik kedua. Tahap kedua adalah tahap linguistik, yang
dapat dirinci dalam empat tahap, yaitu tahap linguistik pertama, tahap
linguistik kedua, tahap linguistik ketiga, dan tahap linguistik keempat.
Terakhir, adalah tahap kompetensi lengkap.
Dengan
demikian, kita dapat memahami bahwa dari tahap-tahap yang dilakukan oleh
anak-anak itu terlihat bahwa perkembangan bahasanya maju dan berkembang dalam
suatu pola dan kaidah yang bertahap. Hal ini berarti bahwa penampilan tata
bahas anak-anak tersebut dapat dikatakan tetap konstan dalam satu kurun waktu
tertentu. Artinya, setiap terjadi perubahanusia, maka terjadi pula perubahan
kemampuan anak-anak tersebut.Perubahan ini berjalan terus ke arah lebih baik
sejalan dengan perubahan umur mereka ke arah yang lebih tinggi pula. Hal lain
yang ikut mengalami perubahan bahasaitu adalah perubahan fisik mereka itu
sendiri, dari belum bisa mengucapkan apa-apa sampai bisa mengucapkan dan
menyampaikan buah pikiran atau suatu maksud.
Penelitian
dengan pengamatan yang singkat ini dapat dijadikan sebagai dasar dalam
penelitian pemerolehan bahasa pertama usia o-7 tahun secara lebih mendalam
nantinya. Selain itu, penelitian ini dapat juga sebagai landasan dalam meneliti
perkembangan bahasa anak selanjutnya di usia remaja. Implikasi lain adalah
sebagai masukan bagi guru bahasa kedua dalam memperoleh informasi tentang kemampuan
dasar para murid atau siswanya. Hal ini, akan berguna sekali dalam memprogram
materi dan strategi pembelajaran bahasa kedua.
DAFTAR PUSTAKA
Brown H.
Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa, Person
Education Inc
Bolinger,
Dwight. 1975. Aspect of Language, New York: Harcout Brace Jovanovich, Inc.
Dardjowijojo,
Soenjono. 2005. Psiko Linguistik. Pengantar pemahaman Bahasa Manusia.
Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Ellis, Rod.
1985. Understanding Second Language Acquisation. Walton Stree, Oxford.
Oxford University Press.
Fromkin
Victoria dan Robert Rodman. 1993. An Introduction to Language, Florida:
Harcout Brace Jovanovich Collage.
Lyons ,
John. 1981. Language and Linguistic, Cambridge: University Press.
Pateda,
Mansoer. 1990. Aspek-Aspek Psikolinguistik,Jogjakarta: Nusa Indah.
Simanjuntak,
Mangantar. 1989. Theories of The Accuisition of Phonology, Jakarta: Gaya
Media Bahasa.
…………………,
1990. Teori Fitur Distingtif dalam Fonologi Generatif: Perkembangan
dan Penerapannya, Jakarta: Gaya Media Pratama.
Subiyakto N,
Sri Utari. 1988. Psikolinguistik: Suatu Pengantar, Jakarta: Depdikbud.
Tarigan,
Henry Guntur. 1986. Psikolinguistik, Bandung: Angkasa.
………………….,
1988. Pengajaran Pemerolehan Bahasa, Bandung: Angkasa.