Oleh: Efri Yoni Baikoeni diakses 16032013
1. Pendahuluan
Bahasa
Minangkabau dan Bahasa Sakai adalah dua bahasa yang tergolong dalam
keluarga Bahasa Austronesia yang dituturkan oleh masyarakat di Pulau
Sumatera, Republik Indonesia khususnya di bahagian Tengah. Dari
penelusuran sejarah dan antropologi dikemukakan bahwa meskipun
masyarakat Suku Minangkabau dan Suku Sakai merupakan dua etnis yang
tinggal di dua kawasan yang berbeda yaitu di Propinsi Sumatera Barat dan
Propinsi Riau, namun keduanya memiliki banyak persamaan dalam
penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi. Sehingga dapat dikatakan
kedua bahasa tersebut mempunyai hubungan kekerabatan bahasa yang dekat.
Atas
asumsi tersebut, penulis mencoba melihat sejauh mana hubungan
kekerabatan antara masyarakat kedua etnis melalui penelitian terhadap
bahasa yang digunakan oleh penutur kedua masyarakat khususnya melalui
pendekatan Ilmu Linguistik Sejarawi.
Dalam
kajian bahasa secara diakronik dinyatakan bahwa bahasa-bahasa yang kita
kenal pada masa ini merupakan suatu fosil artinya merupakan hasil
peninggalan masa purba karena setiap kata memiliki sejarahnya sendiri.
Kosa kata yang digunakan oleh penutur bahasa pada saat ini merupakan
cerminan (refleksi) bentuk masa silam karena setiap perkataan itu selalu
diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya. Para ahli bahasa
memprediksikan bahwa dalam waktu 1000 tahun, terdapat sekitar 20%
terjadinya perubahan atau kepupusan kosa kata suatu bahasa. Dari sekian
banyak kosa kata yang berubah atau pupus tersebut terdapat kosa kata
yang jarang berubah karena frekuensi penggunaannya dalam kehidupan
sehari-hari sangat tinggi sehingga kosa kata tersebut relatif kalis
(kebal) terhadap perubahan. Kosa kata tersebut meliputi: nama-nama tubuh
badan, bilangan (numeral), alam sekitar yang umum dan lain sebagainya.
Meski
bahasa itu berasal dari rumpun yang sama namun karena terjadinya
isolasi dari masyarakat penuturnya dapat mengakibatkan munculnya bahasa
baru. Disamping terjadinya inovasi, penutur bahasa terkait tentu saja
mempertahankan bentuk-bentuk bahasa yang diwariskannya (retensi)
sehingga bahasa yang sekerabat dapat ditelusuri sejarah hubungan
kekerabatannya.
2. Penelitian mengenai bahasa Minangkabau
Para
ahli bahasa menempatkan Bahasa Minangkabau sebagai salah satu kelompok
Bahasa “Melayu Proto”. Namun demikian Bahasa Minangkabau menempati
kedudukan yang unik sebagaimana dinyatakan oleh Robert Blust (1988:02),
salah seorang ahli bahasa yang meneliti dan melakukan rekonstruksi
cabang-cabang Bahasa Melayu Induk. Beliau meragukan pengelompokkan
bahasa Minangkabau dalam kelompok “Proto Malay” karena bahasa
Minangkabau bersama dengan bahasa Kerinci memiliki karakteristik bunyi
yang berbeda (divergent phonological characteristics) apabila dibandingkan dengan bahasa yang tergabung dalam kelompok Proto Malay lainnya.
But
do we then include Minangkabau (sometime called “Minangkabau Malay”) as
a descendent of Proto Malay? If so, what of Kerenci, which appears to
belong to a single dialect compact with Minangkabau but which shows such
divergent phonological characteristics ….”
Bahasa
yang tergabung dalan Proto Malay ini seperti bahasa Malaysia dan bahasa
Melayu yang digunakan di Kedah, Pahang, Patani, Terengganu, Urak Luwoi
dan Tioman. Sementara di Indonesia, anggota bahasa Proto Malay termasuk
bahasa Indonesia dan beberapa bahasa daerah yang banyak digunakan
sebagai “lingua franca” di berbagai pelabuhan laut penting Asia Tenggara
sebelum kedatangan Bangsa Portugis pada abad ke-16 seperti: Bahasa
Banjar, Serawak, Melayu Brunei, Melayu Jakarta, Melayu Kupang, Melayu
Makasar, Melayu Menado dan Melayu Ambon.
Dari
segi leksikostatistik, Robert Blust (1988:03) menggambarkan hubungan
kekerabatan antara Bahasa Minangkabau (MIN) dengan bahasa Proto Malay
lainnya seperti: Bahasa Iban (IBN), Bahasa Selako (SEL), Bahasa Banjar
(BJR) dalam rajah seperti di bawah ini:
Dari
rajah tersebut, Robert Blust menempatkan Bahasa Minangkabau sebagai
bahasa yang memiliki ciri-ciri kebahasaan yang unik yang lebih tua
umurnya dibandingkan dengan Bahasa Indonesia (BI) maupun bahasa yang sekerabat dengannya seperti Melayu Medan (MED), Melayu Jakarta (JAK) maupun Melayu
Ambon (AMB). Sementara itu, apabila dibandingkan dengan Bahasa Iban,
Selako maupun Banjar, bahasa Minangkabau relatif lebih muda karena
ketiga bahasa tersebut merupakan cabang atau turunan langsung bahasa
Proto Malay.
Adeelar
(1992) dalam menerangkan hipotesis migrasi orang Melayu purba dari
tanah asal usulnya menyatakan bahwa Minangkabau merupakan salah satu
isolek yang termasuk dalam sub-kelompok bahasa Austronesia bersama
dengan isolek lainnya seperti: Isolek Iban, Sambas, Serawak, Brunei,
Berau, Kutai, Banjar, Ketapang, Bangka, Jambi, Melayu Baku, Jakarta dan
lain-lain. Kelompok isolek Melayik di atas bercirikan inovasi bersama
(lihat Adelaar1992). Semua pembaharuan ini merupakan inovasi fonologis
yang terjadi antara bahasa Austronesia Purba (BAP) atau Bahasa
Melayu-Polynesia Purba (BMPP) dan BMP.
Bagaimana
pulakah kedudukan daripada Bahasa Sakai yang dituturkan oleh masyarakat
suku Sakai di Riau? Apakah bahasa Sakai dapat dikelompokkan ke dalam
Bahasa Proto Malay? Jika termasuk ke dalam Proto Malay, dimana pulakah
kedudukannya? Hal inilah yang akan penulis coba teliti dalam tulisan
berikut.
3. Wilayah Pemakaian Bahasa Minangkabau di Sumatera Barat
Bahasa
Minangkabau adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau
yang jumlah penuturnya sekitar 6 juta orang (Gerard Moussay, 1981: 9).
Separuh dari jumlah penutur tersebut tinggal di Propinsi Sumatera Barat
sedangkan selebihnya tinggal di kawasan lain di luar propinsi tersebut.
Hal ini dimungkinkan karena masyarakat Minangkabau dikenal sebagai
masyarakat yang suka merantau sehingga wilayah penggunaan bahasa
Minangkabau jauh melangkaui batas-batas propinsi.
Secara
tradisional, wilayah Minangkabau membentang sampai Sungai Kampar di
sebelah Timur, dan masuk jauh ke pedalaman di sepanjang Sungai
Inderagiri dan Sungai Batang Hari di sebelah Tenggara. Di sebelah
Selatan, negeri itu membentang hingga Kerinci dan Bengkulu. Bahasa
Minangkabau digunakan sampai Padang Sidempuan, tempat bermulanya wilayah
Bahasa Batak ke arah Utara. Di sebelah Timur sampai Bangkinang dan
Kuantan yang berbatasan dengan Bahasa Melayu Riau. Gunung Kerinci dan
Gunung Seblat merupakan batas dengan wilayah Kerinci dan Bahasa Rejang
Lebong.
4. Bahasa Sakai di Propinsi Riau
Bahasa
Sakai merupakan bahasa yang dituturkan oleh masyarakat Suku Sakai yang
bermukim di Kecamatan Mandau di Duri, Kabupaten Bengkalis, Propinsi Riau
di Indonesia. Berdasarkan sumber dari Biro Pusat Statistik tahun 1995,
jumlah penutur Bahasa Sakai adalah sebanyak 10.257 jiwa.
Masyarakat
suku Sakai sering disebut oleh penduduk sebagai salah satu suku
terasing di Propinsi Riau karena sebagian besar penduduknya masih hidup
terasing dari masyarakat luas karena hidup di hutan-hutan secara
nomaden. Sebagian diantaranya sudah berhasil dimukimkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia (resettlement) di daerah pemukiman yang fasilitas
pemondokan dan tanah pertaniannya disediakan pemerintah.
Sedangkan
yang belum dimukimkan hidup di hutan-hutan di pinggir jalan umum dan di
lokasi tambang minyak PT Caltex Pacific Indonesia (PT CPI). Mereka
mendirikan pondok-pondok kecil yang sangat sederhana yang tersebar di
Daerah Minas dan Duri. Anak-anak Suku Sakai yang belum dimukimkan ini
umumnya belum mendapatkan pendidikan, sedangkan yang sudah dimukimkan
pada umumnya telah memperoleh bimbingan dan penyuluhan dan untuk
anak-anak mereka disediakan oleh pemerintah berupa Sekolah Dasar
(Sekolah Rendah).
Bahasa
Sakai digunakan oleh masyarakat Suku Sakai sebagai alat komunikasi
antar etnik dan terkadang juga digunakan dalam berkomunikasi dengan
penduduk yang berlainan etnis. Komunikasi dengan penduduk yang berlainan
etnis dapat terlaksana karena struktur maupun kosa kata bahasa Sakai
memiliki banyak persamaan dengan bahasa Melayu dan Bahasa Minangkabau.
Penduduk di Kecamatan Mandau pada umumnya dapat berbahasa Melayu dan
berbahasa Minangkabau.
Penelitian
Bahasa Sakai yang dilakukan oleh ahli bahasa belum banyak dilakukan
secara mendalam sebagaimana penelitian terhadap bahasa Minangkabau. Hal
itu mungkin didasarkan karena peranan Bahasa Sakai masih belum sekuat
bahasa Minangkabau. Apalagi dari segi jumlah penutur, bahasa Sakai
memiliki jumlah penutur yang lebih sedikit. Dengan demikian, penelitian
Bahasa Sakai dinilai sangat penting mengingat Bahasa Sakai dengan
populasinya yang relatif kecil sangat rawan mengalami kepupusan atau
kepunahan. Jika tidak dilakukan upaya pendokumentasian tentu saja bahasa
Sakai ini akan semakin sulit menelusurinya. Kepupusan bahasa Sakai
suatu hari merupakan kehilangan salah satu khasanah bangsa yang tidak
ternilai harganya apalagi kebanyakan generasi muda Suku Sakai mulai
dipengaruhi oleh arus modernisasi.
Kepunahan
Bahasa Sakai mendapat perhatian serius dari kalangan pengamat bahasa
seperti Mohammad Agar (Kompas, edisi 10 September 2002) yang menyatakan
bahwa kepunahan bahasa Sakai menyusul semakin tersisihnya suku tersebut.
Diperkirakan kurang dari 20 tahun ke depan tidak akan ada lagi
sisa-sisa kosa kata dari khazanah bahasa Sakai yang masih bertahan. Hal
itu terjadi akibat desakan dari bahasa-bahasa daerah lain yang masuk ke
wilayah Riau.
Mohammad Agar, pengamat bahasa Sakai sekaligus penyusun Kamus Bahasa Sakai
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan Jerman selanjutnya
mengemukakan bahwa setidaknya ada tiga hal yang mengancam keberadaan
bahasa Sakai saat ini. Pertama adalah keberadaan para pendatang baru di
sekitar tempat mereka menetap di Propinsi Riau, selain itu adalah karena
hilangnya hutan, serta adanya rasa malu anak-anak muda Sakai untuk
menggunakan bahasa mereka.
Para
pendatang yang kebanyakan berasal dari suku Minangkabau, Batak, Melayu,
dan Jawa telah menjadikan suku terasing ini sebagai minoritas dalam
struktur kemasyarakatannya. Akibat struktur sosial seperti itu, maka
kebanyakan bahasa yang digunakan secara umum adalah bahasa-bahasa yang
dibawa oleh para pendatang. Anak-anak Sakai kemudian ikut mendengarkan
dan mengutip kata-kata dalam bahasa lain itu.
Akibat
dari kondisi itu, kata-kata yang ada dalam khazanah bahasa Sakai satu
per satu mulai dilupakan. Memang bukan karena para pendatang itu berniat
untuk menghilangkan bahasa Sakai secara sengaja, tetapi kedatangan
mereka menyebabkan orang-orang Sakai terpinggirkan dan menjadi
minoritas. Selain itu, semakin menyempitnya kawasan hutan, yang menjadi
tempat tinggal utama dan tempat orang Sakai menggantungkan hidup, juga
menjadi penyebab terancamnya bahasa Sakai. Banyak kata dalam bahasa
Sakai yang terkait dengan hutan telah hilang seiring dengan hilangnya
hutan di sekitar tempat tinggal mereka.
Seperti
dalam penyebutan nama berbagai jenis kayu di sekitar tempat tinggal
orang Sakai, lambat laun semakin jarang digunakan karena memang bendanya
tidak ada lagi. Padahal penyebutannya jauh berbeda dibandingkan dengan
bahasa lain. Akibatnya tidak ada regenerasi bahasa dalam orang Sakai
sendiri. Karena benda-bendanya sudah hilang, maka penggunaan kata-kata
dalam bahasa Sakai pun semakin jarang dipakai oleh anak-anak keturunan
Sakai.
Penyebab
lain yang lebih mengkhawatirkan adalah adanya perasaan malu pada
anak-anak muda Sakai untuk menggunakan bahasa mereka sendiri. Hal
tersebut terjadi karena ada anggapan negatif terhadap suku Sakai selama
ini. Ada image negatif yang mengatakan bahwa orang Sakai itu
identik dengan orang bodoh, tak mampu berpikir, dan tidak pernah mandi.
Akibatnya anak-anak muda Sakai itu mencoba mengambil kata-kata dari
bahasa-bahasa lain, seperti bahasa Minang, bahasa Melayu atau bahasa
Indonesia, sedangkan bahasa Sakainya sendiri mereka tinggalkan.
Nama
Sakai ini berasal dari nama tujuh anak-anak sungai dari sungai yang
lebih besar yaitu Sungai Samsam yang terletak sejauh 78 kilometer dari
Kota Pekanbaru arah ke Duri. Menurut cerita penduduk Sakai bahwa Suku
Sakai ini berasal dari Pagaruyung di Propinsi Sumatera Barat. Mereka
berangkat dari Pagaruyung untuk menghindarkan peraturan pembayaran pajak
yang keras oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1883. Mereka tiba di
Daerah Mandau melalui Kota Intan (Kunto Darussalam). Nama suku Sakai ini
pertama kali diucapkan oleh suku tersebut ketika membuka perkampungan
sesuai dengan nama anak sungai yang ditemukan. Bahasa yang mereka pakai
juga dinamai dengan Bahasa Sakai.
5. Wilayah Pemakaian Bahasa Sakai
Penggunaan Bahasa Sakai meliputi wilayah Kecamatan Mandau yang terdiri dari 26 kepenghuluan yaitu:
1. Kepenghuluan Air Jamban
2. Kepenghuluan Balai Pungut
3. Kepenghuluan Samsam
4. Kepenghuluan Minas
5. Kepenghuluan Tengganu
6. Kepenghuluan Pinggir
7. Kepenghuluan Semunai
8. Kepenghuluan Muara Basung
9. Kepenghuluan Sebanga
10. Kepenghuluan Kandis
11. Kepenghuluan Beringin
12. Kepenghuluan Olak
13. Kepenghuluan Sungai Selodang
14. Kepenghuluan Lubuk Jering
15. Kepenghuluan Melibur
16. Kepenghuluan Lubuk Umbut
17. Kepenghuluan Teluk Lancang
18. Kepenghuluan Kuala Penaso
19. Kepenghuluan Belutu
20. Kepenghuluan Balai Makam
21. Kepenghuluan Petani
22. Kepenghuluan Tasik Betung
23. Kepenghuluan Tasik Serat
24. Kepenghuluan Muara Bungkal
25. Kepenghuluan Muara Kelaritan
26. Kepenghuluan Boncah Umbai
Dari 26 kepenghuluan itu terdapat 12 kepenghuluan (desa) suku Sakai yaitu:
1. Kepenghuluan Petani
2. Kepenghuluan Sebanga
3. Kepenghuluan Air Jamban
4. Kepenghuluan Pinggir
5. Kepenghuluan Semunai
6. Kepenghuluan Muara Basung
7. Kepenghuluan Tengganu
8. Kepenghuluan Kandis
9. Kepenghuluan Samsam
10. Kepenghuluan Belutu
11. Kepenghuluan Kuala Penaso
12. Kepenghuluan Minas
Setiap
kepenghuluan Suku Sakai dikepalai oleh Kepala Desa yang biasa dipanggil
oleh masyarakat Suku Sakai sebagai “Batin”. Kedua belas kepenghuluan
itu memakai Bahasa Sakai sebagai bahasa pergaulan dan bahasa budaya.
6. Peran dan Kedudukan Bahasa Minangkabau dan Bahasa Sakai
Yang
dimaksud dengan peran (fungsi) bahasa di dalam hubungan ini adalah
nilai pemakaian bahasa yang dirumuskan sebagai tugas pemakaian bahasa
dimaksud dalam kedudukan yang diberikan kepadanya. Demikian batasan yang
terdapat dalam Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional (Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1977:12).
Di
dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Sakai berfungsi
sebagai alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat Suku Sakai. Di
samping itu, karena keterbatasan pendidikannya, Suku Sakai menggunakan
bahasa Sakai itu sebagai alat perhubungan dengan masyarakat yang
berlainan etnis dengannya. Hal ini dapat juga berlangsung karena bahasa
Sakai dapat dipahami masyarakat di daerah tersebut. Struktur dan kosa
kata bahasa Sakai hampir sama dengan struktur dan kosa kata Bahasa
Melayu maupun bahasa Minangkabau yang banyak dituturkan di daerah
Mandau. Masyarakat Suku Sakai tidak pernah menggunakan bahasa lain kalau
bertemu dengan orang sedaerahnya walaupun orang itu telah lama merantau
ke negeri lain. Jika orang itu menggunakan bahasa lain, dia dianggap
sebagai orang yang sombong.
Dalam
hubungannya dengan fungsi bahasa Indonesia, bahasa Sakai berfungsi
sebagai bahasa penggantar di Sekolah Dasar bagi anak-anak di daerah
Sakai terutama pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran
Bahasa Indonesia dan mata pelajaran lainnya. Di samping itu, bahasa
Sakai juga berfungsi sebagai alat pengembangan serta pendukung
kebudayaan daerah. Dalam upacara-upacara adat, kesenian, Suku Sakai
menggunakan Bahasa Sakai sebagai alat pengembangan kebudayaan.
7. Ciri Karakteristik Bahasa Minangkabau
Secara
fonologi, Moussay Gerard, (1998:33) menyatakan bahwa bahasa Minangkabau
mencakupi 19 konsonan dan 5 vokal. Bahasa Minangkabau pada dasarnya
tidak mengenal abjad f dan h. Kedua huruf tersebut tergabung dalam huruf
p dan a. Disamping itu, bahasa ini juga tidak mengenal penggunaan huruf
q dan z yang dalam sehari-hari memakai huruf awal k dan j dan tidak
pernah mengenal huruf x. Akan tetapi karena pengaruh agama Islam dan
hubungan antar suku bukan saja di Indonesia, masyarakat Minangkabau
mengenal penggunaan huruf q dan z seperti terlihat dalam ucapan: qadar,
qurban, zakat, ziarah dan lain sebagainya.
Huruf
e yang hampir selalu terpakai dalam Bahasa Minangkabau adalah e pepet
seperti dalam kosa kata: ameh, Aceh, kameh, mameh, bareh, areh, lapeh,
leleh dan lain sebagainya.
Sistem bunyi dalam bahasa Minangkabau dapat digambarkan sebagai berikut:
7.1.Bunyi konsonan
1.1 Fonem /p/
Fonem
ini direalisasi dalam bahasa Minangkabau sebagai sebuah oklusif tak
bersuara, bilabial. Fonem ini lazimnya hanya muncul di posisi awal atau
tengah. Meskipun demikian dapat pula dijumpai pada posisi akhir di dalam
beberapa kata yang berasal dari bahasa asing seperti: maaf “maaf”,
sabap “sebab”. Dalam hal ini, fonem /p/ direalisasi sebagai sebuah
implosif. Contoh kosa katanya adalah sebagai berikut:
/palian´/ ‘paling’
/patan´/ ‘petang’
1.2. Fonem /b/
Fonem
/b/ direalisasi di posisi awal dan tengah sebagai sebuah oklusif
bilabial. Pada posisi akhir, fonem itu hanya direalisasi sebagai sebuah
aklusif glottal. Identitas fonologisnya tampakdari contoh yang berikut:
/banan´/ ‘benang’
/ba?un/ ‘bau’
1.3. Fonem /m/
Fonem
/m/ direalisasi sebagai sebuah oklusif nasal bilabial. Fonem itu dapat
muncul di ketiga posisi: awal, tengah dan akhir. Identitas fonologis /m/
terwujud dalam contoh yang berikut:
/manci?/ ‘tikus’
/malam/ ‘malam’
1.4. Fonem /t/
Fonem
/t/ direalisasi di awal dan di tengah kata sebagai oklusif tak bersuara
apikodental. Pada posisi akhir, fonem itu direalisasi sebagai sebuah
oklusif glottal seperti contoh berikut:
/tabi?/ ‘menusuk’
/lato/ ‘kotor’
1.5. Fonem /d/
Fonem
/d/ direalisasikan pada awal dan tengah kata sebagai sebuah oklusif
bersuara apikodental. Fonem ini muncul di posisi akhir hanya pada
kata–kata yang berasal dari bahasa asing dan direalisasikan sebagai
oklusif glottal seperti contoh:
/duri/ ‘duri’
/padeh/ ‘pedas’
1.6. Fonem /n/
Fonem
/n/ direalisasi sebagai sebuah oklusif sengau apikodental. Fonem itu
dapat muncul pada posisi awal, tengah ataupun akhir seperti contoh:
/nanah/ ‘nanah’
/panah/ ‘panah’
1.7. Fonem /c/
Fonem
/c/ direalisasi sebagai sebuah oklusif tak bersuara dorsopalatal. Fonem
itu hanya dapat muncul di awal atau di tengah kata seperti contoh:
/conkon/ ‘jongkok’
/camue?/ ‘menanduk’
1.8. Fonem /j/
Fonem
/j/ direalisasi sebagai sebuah oklusif bersuara dorsopalatal. Fonem /j/
hanya dapat muncul pada posisi awal atau tengah seperti contoh:
/jalo/ ‘jala’
/gajah/ ‘gajah’
1.9. Fonem /n/
Fonem
/n/ direalisasikan sebagai sebuah oklusif sengau dorsopalatal. Fonem
itu hanya dapat muncul di posisi awal atau tengah seperti contoh:
/namue?/ ‘nyamuk’
/na?/ ‘di sini’
1.10. Fonem /k/
Fonem
/k/ direalisasi sebagai sebuah oklusif tak bersuara velar. Fonem itu
hanya dapat muncul di posisi awal atau tengah. Pada posisi akhir, fonem
/k/ direalisasi senbagai sebuah oklusif glottal seperti contoh berikut:
/kaka?/ ‘kakak perempuan’
/karan/ ‘karang’
1.11.Fonem /g/
Fonem
/g/ direalisasi sebagai sebuah oklusif bersuara dorsovelar. Fonem /g/
hanya dapat muncul di posisi awal dan tengah seperti contoh:
/gapue?/ ‘berlemak’
/bago/ ‘meskipun’
1.12. Fonem /n/
Fonem
/n/ direalisasi sebagai sebuah oklusif nasal dorsovelar. Fonem /n/
dapat berada pada ketiga posisi: awal, tengah dan akhir seperti contoh:
/naray/ ‘jurang’
/nunu/ ‘tersedu’
8. Ciri Karakteristik Bahasa Sakai
Sementara
itu, ciri karakteristik Bahasa Sakai dalam bidang Fonologi adalah
Bahasa Sakai memiliki 5 buah vokal yaitu: /a/, /e/, /.o/, /i/, /u/ dan a
dan 17 konsonan yaitu: p, b, m, w, t, d, n, s, l, c, j, n j(?), y, k,
g, nj, h. Disamping itu, Bahasa Sakai mempunyai pasangan diftong kontras
yaitu /ay/ dan /aw/ seperti dalam contoh kosakata berikut ini:
Kontras
|
Contoh
|
Bahasa Indonesia
|
/ay/
|
(suay)
|
cocok (sesuai)
|
|
(pulay)
|
nama sejenis pohon
|
/aw/
|
suaw
|
surau
|
|
/pulaw/
|
pulau
|
Sedangkan
diftong /uy/ tidak dapat dipasangkan dengan diftong lainnya karena
dalam Bahasa Sakai diftong ini hanya terdapat pada posisi tengah bentuk
dasar dan itupun tidak produktif. Contohnya dalam kata: /umpuy?/ yang
berarti rumput.
Dalam
bidang Morfologi ditemukan 7 buah morfem yaitu: maN-, ba-, ta-, di-,
ka- dan prefiks paN-, infiks 2 buah: -al-, dan –am-, sufiks 2 buah
yaitu: -an dan –kan. Kata ulang dan kata majemuk ditemukan juga dalam
Bahasa Sakai.
9. Analisa Hubungan Kekerabatan Bahasa Minangkabau dan Bahasa Sakai
Untuk
melakukan kajian terhadap hubungan Bahasa Minangkabau dan Bahasa Sakai,
penulis akan mengawali dengan membandingkan kosa kata yang relatif
kalis terhadap perubahan yang dikenal dengan kosa kata Swadesh dan
menghubungkannya dengan bahasa Proto Austronesia Purba (*PAP)
berdasarkan Kamus Bahasa Proto Austronesia Purba yang disusun oleh Otto
Dempwolff (1937). Kosa kata tersebut meliputi: nama-nama tubuh badan,
bilangan (numeral), alam sekitar yang umum dan lain sebagainya.
9.1. Kata Bilangan Sederhana
Bahasa Minangkabau
|
Bahasa Sakai
|
Bahasa Melayu
|
*PAP
|
ciek
|
satu
|
satu
|
*esa/isa
|
duo
|
duo
|
Dua
|
*duSa
|
tigo
|
tigo
|
tiga
|
*telu
|
ampek
|
ompek
|
empat
|
*Sepat
|
limo
|
limo
|
lima
|
*lima
|
anam
|
onam
|
enam
|
*enem
|
tujuah
|
tujuh
|
tujuh
|
*pitu
|
lapan
|
lapan
|
delepan
|
*walu
|
sambilan
|
sambilan
|
sembilan
|
*Siwa
|
sapuluah
|
sapuluh
|
sepuluh
|
*sa-puluq
|
Dari
contoh kata bilangan di atas dapat dilihat perubahan fonologis antara
Bahasa Minangkabau dengan Bahasa Sakai yaitu sebagai berikut:
1. Kata bilangan ”satu” dalam bahasa Minangkabau adalah “ciek” sedangkan dalam bahasa Sakai disebut dengan “satu”.
Dalam
kamus bahasa *PAP dinyatakan bahwa kata “satu” berasal dari kata
*esa/isa. Dengan demikian penggunaan kata “ciek” dalam bahasa
Minangkabau adalah merupakan inovasi, sedangkan penggunaan satu dalam
Bahasa Sakai dipengaruhi oleh Bahasa Melayu.
Namun
Gerard Moussay (1998: 156) mengemukakan bahwa kata “ciek” dalam bahasa
Minangkabau khususnya digunakan oleh kaum tua sementara di dalam ragam
sastra sastra lama digunakan kata ‘aso’. Dengan demikian kata /aso/
merupakan kata fosil yang berasal dari *PAP sehingga perubahannya dapat
digambarkan dalam rajah berikut ini:
*e s a
a s o
Sementara
perubahan bahasa dari *PAP dalam bahasa Sakai adalah merupakan inovasi
dimana pada zaman dahulu penghitungan menggunakan batu sehingga kata
“satu” berasal dari “sabatu”.
2. Kata bilangan “empat” dalam bahasa Minangkabau adalah “ampek” sedangkan dalam bahasa Sakai disebut dengan “ompek”.
Dalam
Bahasa Minangkabau fonem /a/ direalisasi sebagai sebuah vokal tengah,
rendah. Seperti halnya vokal yang lain, fonem /a/ hanya dapat muncul
pada posisi tengah dan akhir. Pada posisi awal, fonem itu selalu
didahului oleh hentakan anak tekak, meskipun dalam ejaan tidak ditulis.
Seperti dalam contoh kata “ampek” yang dapat ditranskripsikan secara
fonologis seperti: /?ampe?/.
Perubahan bahasa dari *PAP dalam bahasa Minangkabau dapat digambarkan sebagai berikut:
*S e p a t
Θ a p o k
am p e k ampek
Ternyata
perubahan bunyi tidak langsung berakhir melainkan mengalami proses
perubahan dimana antar bunyi a dan p terjadi asimilasi menjadi am
sehingga terbentuk kata “ampek”.
Kata
bilangan “ampek” dalam bahasa Minangkabau berubah menjadi “ompek” dalam
bahasa Sakai. Terlihat bahwa bunyi vocal /a/ pada awal kata dalam
Bahasa Minangkabau berubah menjadi vocal /o/ dalam Bahasa Sakai.
Gambaran perubahan dari bahasa Minangkabau (MIN) kepada bahasa Sakai
(SAK) sebagaimana rajah berikut:
a m p e k (MIN)
o m p e k (SAK)
3. Kata bilangan “enam” dalam bahasa Minangkabau adalah “anam” sedangkan dalam bahasa Sakai disebut dengan “onam”.
Perubahan bahasa dari *PAP dalam bahasa Minangkabau dapat digambarkan sebagai berikut:
*e n e m
a n a m
Pola
perubahan yang sama dengan contoh kata “empat” juga berlaku pada contoh
kata bilangan “enam” dalam bahasa Minangkabau dimana kata “anam”
berubah menjadi “onam” dalam bahasa Sakai. Terlihat bahwa bunyi vocal
/a/ pada awal kata dalam Bahasa Minangkabau berubah menjadi vocal /o/
dalam Bahasa Sakai. Gambaran perubahan dari bahasa Minangkabau (MIN)
kepada bahasa Sakai (SAK) sebagaimana rajah berikut:
a n a m (MIN)
o n a m (SAK)
4. Kata bilangan “sepuluh” dalam bahasa Minangkabau adalah “sapuluah” sedangkan dalam bahasa Sakai disebut dengan “sapuluh”.
Kata
bilangan “sepuluh” dalam bahasa Minangkabau merupakan salah satu contoh
berlakunya luncuran vokalis karena kelima bunyi vokal yang terdapat
dalam bahasa Minangkabau terkadang memperlihatkan suatu luncuran,
apabila terletak di muka konsonan tertentu.
Perubahan bahasa dari *PAP dalam bahasa Minangkabau dapat digambarkan sebagai berikut:
*s a p u l u q
s o p u l u q
s a p u l ua h “sapuluah”
Pada
contoh di atas bunyi /o/ antara konsonan desis s dan konsonan p
menyebabkan proses perubahan bunyi /a/ menjadi /o/ tidak terjadi. Begitu
pula konsonan q berubah menjadi h karena bahasa Minangkabau pada
dasarnya tidak mengenal fonem tersebut sedangkan fokal u pada akhir kata
mengalami peluncuran sehingga bunyi /u/ berubah menjadi /ua/.
Dalam
contoh di atas dapat dijelaskan bahwa luncuran vokal tersebut berasal
dari vokal asli dan berubah menjadi bunyi /e/ pepet. Luncuran itu
terutama muncul setelah fonem vokalis /i e o u/ di muka fonem
konsonantis /n/ dan setelah fonem /I u/ di muka konsonan /? h r l /.
Bunyi luncuran vokalis itu di sini ditulis dengan tanda /e:/
Dalam
contoh kosa kata “sapuluah” ini, bunyi luncuran vokalis /e:/ terjadi
setelah fonem vokalis /l u/ dimuka fonem konsonantis /h/ sehingga kata
tersebut dapat ditranskripsikan menjadi /sapulue:h/. Berbeda dengan
bahasa Minangkabau, bahasa Sakai tidak mengekalkan penggunaan bunyi
luncuran vokalis karena dalam Bahasa Sakai hanya mengenal penggunaan
diftong kontras.
9.2. Anggota Tubuh Badan
Bahasa Minangkabau
|
Bahasa Sakai
|
Bahasa Melayu
|
*PAP
|
kapalo
|
kapalo
|
kepala
| |
lihia
|
batang liu
|
leher
| |
abuak
|
ambuik
|
rambut
|
*buluc (31)
|
pipi
|
palipi
|
pipi
| |
dai
|
dai
|
dahi
| |
kaniang
|
koning
|
kening
| |
daguak
|
daguk
|
dagu
| |
mato
|
mato
|
mata
| |
talingo
|
talingo
|
telinga
| |
jangek/kulik
|
jangek
|
kulit
| |
dado
|
dado
|
dada
| |
pungguang
|
tulang punggung
|
punggung
| |
bau
|
kakapi
|
bahu
|
*baha (14)
|
sunguik
|
misai
|
kumis
| |
iduang
|
idung
|
hidung
| |
lidah
|
lidah
|
lidah
| |
ati
|
ati
|
hati
|
*ataj (10)
|
Membandingkan
kosa kata anggota tubuh badan antara bahasa Minangkabau dengan bahasa
Sakai ditemukan bahwa terdapat beberapa kosa kata yang persis sama
secara fonologis yaitu: kepala, dahi, mata, telinga, kulit, dada dan
lidah. Umumnya anggota panca indera (deria) tidak terjadi perubahan
berarti antara kedua bahasa tersebut kecuali hidung. Hal ini membuktikan
bahwa panca indera merupakan angota tubuh badan yang paling tinggi
frekuensi pengunaannya.
Sementara
itu anggota tubuh badan lainnya seperti: leher, rambut, pipi, kening,
dagu, punggung, bahu, kumis dan lain sebagainya terdapat perbedaan
antara bahasa Minangkabau dengan bahasa Sakai baik secara fonologis
maupun morfologis.
9.3. Keadaan Alam Sekitar
Bahasa Minangkabau
|
Bahasa Sakai
|
Bahasa Melayu
|
*PAP
|
bulan
|
bulan
|
bulan
|
*bulan (31)
|
matoari
|
matoai
|
matahari
| |
aia
|
ae
|
air
| |
ujan
|
ujan
|
hujan
| |
pasia
|
pase
|
pasir
| |
batu
|
batu
|
batu
|
*batu (20)
|
asok
|
asok
|
asap
|
*atu (11)
|
langik
|
langik
|
langit
| |
abu
|
dobu
|
debu
| |
tanah
|
tanah
|
tanah
| |
awan
|
awan
|
awan
| |
api
|
api
|
api
|
*apuj (10)
|
luluak
|
lumpu
|
lumpur
| |
gabak
|
mondung
|
mendung
| |
patuih
|
pote
|
petir
| |
danau
|
danong
|
danau
| |
gunuang
|
gunung
|
gunung
| |
sungai
|
sungai
|
sungai
|
*b/in/anac (17)
|
jalan
|
bakal
|
jalan
| |
abu
|
abu
|
abu
| |
ambun
|
ombun
|
embun
| |
ari
|
ai
|
hari
| |
10. Kesimpulan
Dari
deksripsi mengenai bahasa Minangkabau dan bahasa Sakai terlihat kedua
bahasa memiliki banyak persamaan-persamaan baik dari segi fonologi
maupun dari segi leksikalnya. Dengan demikian dapat diyakini bahwa
bahasa Minangkabau dan bahasa Sakai merupakan dua bahasa yang sekerabat
bahkan memiliki hubungan kekerabatan yang cukup dekat.
Hal
tersebut didukung pula dengan pembuktian sejarah dimana masyarakat Suku
Sakai dulunya merupakan warga Suku Minangkabau yang berpindah dari
Pagaruyung ke daerah yang ditempati sekarang di Propinsi Riau
dikarenakan untuk menghindari pembayaran pajak (tax) yang dikenakan oleh
penguasa colonial Belanda tahun 1883.
Dari
paparan di atas ditemukan pula bahwa sebagai salah satu bahasa
Austronesia khususnya bahasa “Proto Malay” (Robert Blust, 1988:02)
ditemukan pula beberapa ciri perubahan yang dialami oleh bahasa
Minangkabau dari bentuk purbanya yaitu Proto Austronesia Purba (*PAP).
Ciri perubahan bahasa dari *PAP menjadi bahasa Minangkabau tersebut
seperti: bunyi */e/ dalam *PAP berubah menjadi /a/ dalam bahasa
Minangkabau sedangkan */a/ dalam *PAP berubah menjadi /o/ dalam bahasa
Minangkabau.
Selain
dari itu, dengan membandingkan antara bahasa Minangkabau dan bahasa
Sakai sebagai bahasa yang berkerabat dekat ditemukan pula ciri-ciri
perubahan bahasa Minangkabau menjadi bahasa Sakai. Perubahan bahasa itu
antara lain adalah bunyi vokal /a/ dalam bahasa Minangkabau berubah
menjadi vocal /o/ dalam Bahasa Sakai.
BIBLIOGRAFI
Adelaar,
K. A, Proto-Malayic. The Recontruction of its phonology and parts of
its lexicon and morphology. Pacific Linguistics C-119. Canberra:
Australian National University
Dempwolff, Otto,
Kompas, “Bahasa Sakai Terancam Punah”, 10 September 2002
Lubis,
Idrus et all, “Struktur Bahasa Sakai”, Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985
Mohd.
Thani Ahmad dan Zaini Mohamed Zain, “Rekonstruksi dan Cabang-Cabang
Bahasa Melayu Induk”, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1988
Moussay Gerard, “Tata Bahasa Minangkabau”, Jakarta: Kepustakaan Popular Gramedia, 1998
Nothofer, Bernd “Migrasi Orang Melayu Purba: Kajian Awal”, Seri 14, 1996 hal 33-52
Rahman, Abdul Drs, “Kiat Belajar Logat Minangkabau”, Bukittinggi: CV Pustaka Indonesia, 1996
Roesli, “Peladjaran Bahasa Minangkabau”, Djakarta: PN Pertjetakan Negara RI, 1967
Saydam, Gouzali Drs, “Kamus Lengkap Bahasa Minang (Indonesia-Minang), Padang: Centre for Studies of Islam ann Minangkabau, 2004
Usman, H. Abdul Kadir, “Kamus Umum Bahasa Minangkabau-Indonesia”, Padang: Anggrek Media, 2002.
Usman, Zuber, “Bahasa Melayu Sebelum dan Sesudah Menjadi Lingua Franca”, Jakarta: Yayasan Idayu, 1975.