Rabu, 20 Maret 2013

Suku Sakai di Riau Bergelut Pertahankan Jati Diri

http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia diakses 18032013
Suku Sakai di Riau Bergelut Pertahankan Jati Diri

Paling sedikit ada delapan suku asli di Riau. Sudah berabad-abad mereka hidup berkelompok, menyebar dan menguasai berbagai wilayah strategis, mulai dari hutan, pesisir hingga laut. Tapi dalam 40 tahun terakhir, kehidupan mereka mulai mundur. Mereka kehilangan hak ekonomi, sosial dan budaya karena rusaknya alam sumber kehidupan mereka. Para pendatang menggunduli hutan untuk kebun kelapa sawit, kebun karet dan akasia. Pendatang lain mengusir mereka untuk menjarah minyak bumi. Reporter KBR68H, Dimas Fuady berkunjung ke Riau, mencari tahu cerita tentang suku-suku asli di Riau.


Seribuan orang duduk melingkar di Gelanggang Olahraga Senapelan Pekanbaru, Riau, awal Februari lalu. Terik matahari siang bolong tak menyurutkan semangat mereka. Sebagian yang tak mendapat kursi berdiri. Tangan kiri mengepal ke udara, sesekali berteriak, menyahut orasi si pemimpin yang berada tempat di pusaran massa.

Suasana konferensi tani Riau: Yang harus dikampanyekan di desa, bahwa perusahaan perampas tanah rakyat adalah musuh bersama kaum tani di desa. Betul! Perusahaan perampas tanah rakyat, perusahaan pelaku illegal logging adalah musuh bersama kaum tani di desa. Betul!! Arara Abadi perampas tanah rakyat. Usir-usir-usir!! Arara Abadi perampas tanah rakyat. Usir-usir-usir!!

Mereka adalah utusan suku asli Riau, salah satu daerah kaya sumberdaya alam di negeri ini. Mereka datang dari berbagai pelosok yang bisa sampai ratusan kilometer dari tempat mereka saat itu berkumpul. Mereka dipersatukan oleh nasib yang membuat kehidupan mereka terpuruk. Lahan yang selama ini turun-temurun menjadi sumber penghidupan mereka, semakin menciut.

Suasana konferensi tani Riau: Ayo rakyat, yuk galang persatuan. Ayo. Ayo kita turun ke jalan. Ayo. Yuk kita turun aksi dengan front persatuan, bangkit jadi bangsa mandiri. Cukup sudah jadi bangsa kuli. Cukup. Bangkit jadi bangsa mandiri. Mandiri. Kita kibarkan Tripanji, hapus hutang luar negeri, aset pertambangan dinasionalisasi. Untuk bangun pabrik-pabrik dalam negeri. Bangkit jadi bangsa mandiri!

Karena ketidakadilan
Pongah: 'Nama lengkap saya Pak Pongah, orang Sakai asli! Sejak nenek moyang saya tinggal di situ. Saya putra daerah, saya lahir di situ juga, Pak'.
Ketidakadilan mendorongnya datang ke konferensi yang digelar salah satu organisasi serikat tani Riau. Ia datang mewakili sekitar 700an warga Sakai di wilayah Seluk Bongkal, Kabupaten Bengkalis. Didampingi istri, Pongah menuturkan pengalamannya bersengketa dengan sebuah perusahaan perkebunan.
Pongah: 'Tenda-tenda kami beterbangan, malahkan periuk yang di atas tungku pun terbang kena angin. Sekitar 20 kamp rusak. Sekitar 10 meter dari tanah. Di saat itu, saya masih di lapangan itu, Pak. Sedang mimpin anggota mau bikin perladang untuk menanam ubi mangalo. Penghidupan kami kan dari ubi mangalo itu '.
Peristiwa itu terjadi akhir Desember 2007. Tepat jam 9 pagi, ketika ia dan sejumlah warga lain berladang. Seperti angin badai dan deru helikopter yang hanya 10 meter di atas kepala mereka, kontan membuat mereka kocar-kacir, berhamburan cari selamat.
Kata Pongah, kasus itu merupakan bagian sengketa lahan yang mereka hadapi. Pongah mengklaim, sebelum dikuasai perusahaan perkebunan, ia dan ratusan warga Sakai memiliki 8000 hektar hutan warisan nenek moyang mereka. Tapi sejak 1990, hutan itu dirampas perusahaan. Berbekal surat izin Menteri Kehutanan dan pemda setempat, lahan hutan pun segera disulap menjadi kebun akasia.
Pongah: 'Semenjak lahan itu hilang, diambil oleh PT itu, sehingga hilang mata pencarian saya. Penghidupan saya mulai dari datuk nenek saya ya dari hutan itu. Bermacam-macam hasil dalam hutan itu yang bisa saya ambil. Misalnya seperti damar, rotan, getah lebuai, atau pun makan-makanan yang ada di hutan itu, seperti jamur. Sebelum mengenal dokter kami mengenal obat tradisi'.

Pencemaran
Setidaknya ada dua konflik yang mendera suku Sakai. Selain soal lahan, di belahan bumi Riau lain, ratusan orang Sakai juga tengah bertahan hidup melawan pencemaran sungai.
Niar, salah seorang nelayan Sakai yang tinggal di pinggiran Sungai Pematang Pudu bertutur soal pencemaran limbah B3 oleh perusahaan tambang, Chevron Pasific Indonesia, CPI. Ini membuat mereka kehilangan mata pencaharian.
Niar: Ikan tapa, ikan baung, ikan selaih, ikan kayangan dulu dapat. Kalau sekarang ndak usah lagi. Paling-paling dapat ikan tanah yang putih-putih itu, ikan tanah namanya. Tak bagus lagi ikannya. Kalau dulu ya, di situ. Orang dari pasar ini beli ikan di situ saban malam. Jam lima subuh kita nimbang ikan'.
Tuntutan ganti rugi warga tak pernah ditangapi Chevron. Surat Keputusan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Propinsi Riau yang menyatakan Chevron bersalah, tak bisa memaksa Chevron membayar ganti rugi. Tifa Permata, juru bicara Chevron menegaskan soal ini.
Tifa Permata: Ya kan gak ada pencemaran. Hasilnya tak ada kerusakan, jadi gak ada dasar hukum bagi Chevron membayar ganti rugi. 'Karena buktinya gak ada, Pak'.
Chevron berdalih, Surat Keputusan Bapedalda Riau hanya mempersoalkan limbah yang mereka buang tidak sesuai prosedur. Mereka menganggap ganti rugi tak perlu dibayar setelah semua limbah itu dibersihkan kembali. Kini warga kelimpungan lantaran sungai tempat mereka mencari ikan sudah rusak.
Kisah orang Sakai menjadi gambaran umum suku-suku lain Riau yang bernasib sama. Suku Talang Mamak di selatan Kabupaten Indragiri, orang Petalangan yang hidup di antara Sungai Indragiri dan Sungai Kampar, orang Laut di Kepulauan Riau, Suku Akit, Suku Hutan juga orang Kuala kini dihimpit persoalan yang sama. Budaya mereka dikerdilkan karena alam rusak dan hidup mereka diamputasi oleh lahan yang makin menyempit.
Konflik agraria di Riau sebetulnya penyakit lama. Menurut data Serikat Tani Riau hampir seluruh perusahaan di Riau, terutama perusahaan perkebunan, terlibat sengketa tanah dengan masyarakat.

Aturan yang tumpang tindih
Rizal Zulhelmi, Ketua Serita Tani Riau mengatakan, itu akibat tumpang tindih aturan:
'Kalau kita runut dari administrasi peta masing-masing kabupaten, itu memang daerah-daerah yang diakui sebagai perkampungan, tegalan, kemudian ada juga perkebunan dan ada juga perumahan rakyat, tapi kalau perusahaan dengan SK 743 yang dapat dari Menteri Kehutanan itu tetap diklaim itu areal perusahaan'.
Hasim Aliwa, anggota Komisi A DRPD Riau yang membidangi masalah pertanahan, bahkan mengakui DPRD gagal membela warga:
'Kita, di DPRD ini, untuk ke pusat selalu kandas dengan aturan-aturan yang sudah berlaku sekian lama di negara kita, sementara itu belum ada perubahan. Kita sudah membuat semacam perubahan peraturan daerah, tetapi belum diberlakukan secara menyeluruh. Inilah mungkin harus ada reformasi agraria'.
Iwan Nurdin, Koordinator bidang advokasi kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria mengatakan, saling klaim pemilikan tanah antara penduduk asli dengan perusahaan bukan hanya monopoli Riau. Kasus serupa juga terjadi di seantero tanah air. Benang merahnya adalah carut marutnya aturan soal ini.
Iwan Nurdin: 'UU pokok agraria kita tidak diberlakukan. Itulah masalahnya. Karena di atas tanah kita berlaku banyak sekali hukum, apakah UU pertambangan, UU tata ruang, UU Kehutanan. Padahal UU itu lemah sekali pengakuannya terhadap hak-hak masyarakat. Sementara UU yang cukup kuat mendukung hak masyarakat seperti UU Pokok Agraria justru dikesampingkan. Jadi, hanya dimasukkan dalam tong sampah saja'.

Rakyat kalah
Menurut data KPA, dari semua kasus agraria di tanah air, hampir dipastikan masyarakat berada di pihak yang kalah.
Iwan Nurdin: Fakta di lapangan, dari catatan kita tahun 2007, hampir dari semua konflik agraria, kepolisian cenderung berpihak pada kelompok-kelompok yang bermodal. Bahkan, seperti pengalaman di Jambi, di Riau juga, di PTT Arara Abadi, di Jambi dengan Wirakarya Sakti. Keduanya milik kelompok Sinar Mas Group, perusahaannya yang hanya punya SK, itu bisa melakukan mobilisasi polisi untuk mengusir warga yang punya sertifikat, punya hak asal usul yang turun temurun. SK itu bukan bukti hukum karena SK Menteri Kehutanan adalah izin yang harus diverifikasi lagi di wilayah'.
Tapi itu tentu bukan kabar baik bagi perusahaan yang tengah bersengketa dengan masyarakat. Sebab menurut Iwan, itu ibarat bara dalam sekam.
Iwan Nurdin: 'Rata-rata kepemilikan tanah di Indonesia ini yang dimiliki rakyat adalah 0,3 hakter semata. Sementara 64 juta hektar hutan dikuasakan hanya kepada 222 perusahaan. Ini situasi yang tidak adil. Tidak adil dan juga berbahaya bagi perusahaan karena mereka hidup di atas amarah masyarakat. Potensi ledakan sosialnya begitu besar'.
Lantas, siapa yang seharusnya menengahi konflik ini?
Iwan Nurdin: 'Ini adalah kekacauan yang luar biasa. Bahkan masyarakat yang mengalami konflik agraria, secarsa bergurau miris mengatakan, hanya Tuhan yang belum kita surati. Presiden sudah kita surati, Ketua DPR sudah, Kepala BPN sudah, Menhut sudah, Mendagri sudah, Gubernur, Bupati semua sudah kita surati. Dan semuanya mengatakan pasti bukan yang paling berwenang'.

Deklarasi suku asli dunia
Konflik tanah jelas menyebabkan mundurnya taraf hidup masyarakat. Tidak hanya di Riau atau Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Itulah sebabnya pada Kongres Bumi Sedunia yang digelar PBB di Brazil pada 1992, masalah ini dijadikan salah satu topik bahasan.
Menjelang kongres berakhir, berdirilah seseorang suku asli Amazone yang bernama Kranak. Ia membacakan deklarasinya yang akhirnya dikenang sebagai deklarasi suku-suku asli dunia.
Kranak: 'We are beginning to think, we are writing the new chapter of history to demand our right, take on our duties and defend our identity and tradition'
'Hari ini kami menulis bab baru dalam sejarah untuk menuntut hak-hak dan kewajiban kami dan mempertahankan jati diri serta tradisi kami.'
Mata para kepala negara memandang Kranak dan menyadarkan mereka akan hak-hak suku asli yang telah dirampok oleh masyarakat yang menamakan dirinya beradab.
Suasana konferensi tani Riau: Ayo rakyat yok galang persatuan. Ayo! Ayo kita turun ke jalan. Ayo! Yuk kita turun aksi dengan front persatuan, bangkit jadi bangsa mandiri. Cukup sudah jadi bangsa kuli. Bangkit jadi bangsa mandiri. Kita kibarkan tripani hapus hutang luar negeri aset pertambangan dinasionalisasi untuk bangun pabrik dalam negeri. Bangkit jadi bangsa mandiri!