http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia
diakses 18032013
Suku Sakai di Riau Bergelut
Pertahankan Jati Diri
Paling sedikit ada delapan suku asli di Riau. Sudah
berabad-abad mereka hidup berkelompok, menyebar dan menguasai berbagai wilayah
strategis, mulai dari hutan, pesisir hingga laut. Tapi dalam 40 tahun terakhir,
kehidupan mereka mulai mundur. Mereka kehilangan hak ekonomi, sosial dan budaya
karena rusaknya alam sumber kehidupan mereka. Para pendatang menggunduli hutan
untuk kebun kelapa sawit, kebun karet dan akasia. Pendatang lain mengusir
mereka untuk menjarah minyak bumi. Reporter KBR68H, Dimas Fuady berkunjung ke
Riau, mencari tahu cerita tentang suku-suku asli di Riau.
Seribuan
orang duduk melingkar di Gelanggang Olahraga Senapelan Pekanbaru, Riau, awal
Februari lalu. Terik matahari siang bolong tak menyurutkan semangat mereka.
Sebagian yang tak mendapat kursi berdiri. Tangan kiri mengepal ke udara,
sesekali berteriak, menyahut orasi si pemimpin yang berada tempat di pusaran
massa.
Suasana
konferensi tani Riau: Yang harus dikampanyekan di desa, bahwa perusahaan
perampas tanah rakyat adalah musuh bersama kaum tani di desa. Betul! Perusahaan
perampas tanah rakyat, perusahaan pelaku illegal logging adalah musuh bersama
kaum tani di desa. Betul!! Arara Abadi perampas tanah rakyat. Usir-usir-usir!!
Arara Abadi perampas tanah rakyat. Usir-usir-usir!!
Mereka
adalah utusan suku asli Riau, salah satu daerah kaya sumberdaya alam di negeri
ini. Mereka datang dari berbagai pelosok yang bisa sampai ratusan kilometer dari
tempat mereka saat itu berkumpul. Mereka dipersatukan oleh nasib yang membuat
kehidupan mereka terpuruk. Lahan yang selama ini turun-temurun menjadi sumber
penghidupan mereka, semakin menciut.
Suasana
konferensi tani Riau: Ayo rakyat, yuk galang persatuan. Ayo. Ayo kita turun ke
jalan. Ayo. Yuk kita turun aksi dengan front persatuan, bangkit jadi bangsa
mandiri. Cukup sudah jadi bangsa kuli. Cukup. Bangkit jadi bangsa mandiri.
Mandiri. Kita kibarkan Tripanji, hapus hutang luar negeri, aset pertambangan dinasionalisasi.
Untuk bangun pabrik-pabrik dalam negeri. Bangkit jadi bangsa mandiri!
Karena
ketidakadilan
Pongah: 'Nama lengkap saya Pak Pongah, orang Sakai asli! Sejak nenek moyang saya tinggal di situ. Saya putra daerah, saya lahir di situ juga, Pak'.
Pongah: 'Nama lengkap saya Pak Pongah, orang Sakai asli! Sejak nenek moyang saya tinggal di situ. Saya putra daerah, saya lahir di situ juga, Pak'.
Ketidakadilan
mendorongnya datang ke konferensi yang digelar salah satu organisasi serikat
tani Riau. Ia datang mewakili sekitar 700an warga Sakai di wilayah Seluk
Bongkal, Kabupaten Bengkalis. Didampingi istri, Pongah menuturkan pengalamannya
bersengketa dengan sebuah perusahaan perkebunan.
Pongah:
'Tenda-tenda kami beterbangan, malahkan periuk yang di atas tungku pun terbang
kena angin. Sekitar 20 kamp rusak. Sekitar 10 meter dari tanah. Di saat itu,
saya masih di lapangan itu, Pak. Sedang mimpin anggota mau bikin perladang
untuk menanam ubi mangalo. Penghidupan kami kan dari ubi mangalo itu '.
Peristiwa
itu terjadi akhir Desember 2007. Tepat jam 9 pagi, ketika ia dan sejumlah warga
lain berladang. Seperti angin badai dan deru helikopter yang hanya 10 meter di
atas kepala mereka, kontan membuat mereka kocar-kacir, berhamburan cari
selamat.
Kata Pongah,
kasus itu merupakan bagian sengketa lahan yang mereka hadapi. Pongah mengklaim,
sebelum dikuasai perusahaan perkebunan, ia dan ratusan warga Sakai memiliki 8000
hektar hutan warisan nenek moyang mereka. Tapi sejak 1990, hutan itu dirampas
perusahaan. Berbekal surat izin Menteri Kehutanan dan pemda setempat, lahan
hutan pun segera disulap menjadi kebun akasia.
Pongah:
'Semenjak lahan itu hilang, diambil oleh PT itu, sehingga hilang mata pencarian
saya. Penghidupan saya mulai dari datuk nenek saya ya dari hutan itu.
Bermacam-macam hasil dalam hutan itu yang bisa saya ambil. Misalnya seperti
damar, rotan, getah lebuai, atau pun makan-makanan yang ada di hutan itu, seperti
jamur. Sebelum mengenal dokter kami mengenal obat tradisi'.
Pencemaran
Setidaknya ada dua konflik yang mendera suku Sakai. Selain soal lahan, di belahan bumi Riau lain, ratusan orang Sakai juga tengah bertahan hidup melawan pencemaran sungai.
Setidaknya ada dua konflik yang mendera suku Sakai. Selain soal lahan, di belahan bumi Riau lain, ratusan orang Sakai juga tengah bertahan hidup melawan pencemaran sungai.
Niar, salah
seorang nelayan Sakai yang tinggal di pinggiran Sungai Pematang Pudu bertutur
soal pencemaran limbah B3 oleh perusahaan tambang, Chevron Pasific Indonesia,
CPI. Ini membuat mereka kehilangan mata pencaharian.
Niar: Ikan tapa, ikan baung, ikan selaih, ikan kayangan dulu dapat. Kalau sekarang ndak usah lagi. Paling-paling dapat ikan tanah yang putih-putih itu, ikan tanah namanya. Tak bagus lagi ikannya. Kalau dulu ya, di situ. Orang dari pasar ini beli ikan di situ saban malam. Jam lima subuh kita nimbang ikan'.
Niar: Ikan tapa, ikan baung, ikan selaih, ikan kayangan dulu dapat. Kalau sekarang ndak usah lagi. Paling-paling dapat ikan tanah yang putih-putih itu, ikan tanah namanya. Tak bagus lagi ikannya. Kalau dulu ya, di situ. Orang dari pasar ini beli ikan di situ saban malam. Jam lima subuh kita nimbang ikan'.
Tuntutan
ganti rugi warga tak pernah ditangapi Chevron. Surat Keputusan Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Propinsi Riau yang menyatakan Chevron bersalah,
tak bisa memaksa Chevron membayar ganti rugi. Tifa Permata, juru bicara Chevron
menegaskan soal ini.
Tifa
Permata: Ya kan gak ada pencemaran. Hasilnya tak ada kerusakan, jadi gak ada
dasar hukum bagi Chevron membayar ganti rugi. 'Karena buktinya gak ada, Pak'.
Chevron
berdalih, Surat Keputusan Bapedalda Riau hanya mempersoalkan limbah yang mereka
buang tidak sesuai prosedur. Mereka menganggap ganti rugi tak perlu dibayar
setelah semua limbah itu dibersihkan kembali. Kini warga kelimpungan lantaran
sungai tempat mereka mencari ikan sudah rusak.
Kisah orang
Sakai menjadi gambaran umum suku-suku lain Riau yang bernasib sama. Suku Talang
Mamak di selatan Kabupaten Indragiri, orang Petalangan yang hidup di antara
Sungai Indragiri dan Sungai Kampar, orang Laut di Kepulauan Riau, Suku Akit,
Suku Hutan juga orang Kuala kini dihimpit persoalan yang sama. Budaya mereka
dikerdilkan karena alam rusak dan hidup mereka diamputasi oleh lahan yang makin
menyempit.
Konflik
agraria di Riau sebetulnya penyakit lama. Menurut data Serikat Tani Riau hampir
seluruh perusahaan di Riau, terutama perusahaan perkebunan, terlibat sengketa
tanah dengan masyarakat.
Aturan yang
tumpang tindih
Rizal Zulhelmi, Ketua Serita Tani Riau mengatakan, itu akibat tumpang tindih aturan:
Rizal Zulhelmi, Ketua Serita Tani Riau mengatakan, itu akibat tumpang tindih aturan:
'Kalau kita
runut dari administrasi peta masing-masing kabupaten, itu memang daerah-daerah
yang diakui sebagai perkampungan, tegalan, kemudian ada juga perkebunan dan ada
juga perumahan rakyat, tapi kalau perusahaan dengan SK 743 yang dapat dari
Menteri Kehutanan itu tetap diklaim itu areal perusahaan'.
Hasim Aliwa,
anggota Komisi A DRPD Riau yang membidangi masalah pertanahan, bahkan mengakui
DPRD gagal membela warga:
'Kita, di
DPRD ini, untuk ke pusat selalu kandas dengan aturan-aturan yang sudah berlaku
sekian lama di negara kita, sementara itu belum ada perubahan. Kita sudah
membuat semacam perubahan peraturan daerah, tetapi belum diberlakukan secara
menyeluruh. Inilah mungkin harus ada reformasi agraria'.
Iwan Nurdin,
Koordinator bidang advokasi kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria mengatakan,
saling klaim pemilikan tanah antara penduduk asli dengan perusahaan bukan hanya
monopoli Riau. Kasus serupa juga terjadi di seantero tanah air. Benang merahnya
adalah carut marutnya aturan soal ini.
Iwan Nurdin:
'UU pokok agraria kita tidak diberlakukan. Itulah masalahnya. Karena di atas
tanah kita berlaku banyak sekali hukum, apakah UU pertambangan, UU tata ruang,
UU Kehutanan. Padahal UU itu lemah sekali pengakuannya terhadap hak-hak
masyarakat. Sementara UU yang cukup kuat mendukung hak masyarakat seperti UU
Pokok Agraria justru dikesampingkan. Jadi, hanya dimasukkan dalam tong sampah
saja'.
Rakyat kalah
Menurut data KPA, dari semua kasus agraria di tanah air, hampir dipastikan masyarakat berada di pihak yang kalah.
Iwan Nurdin: Fakta di lapangan, dari catatan kita tahun 2007, hampir dari semua konflik agraria, kepolisian cenderung berpihak pada kelompok-kelompok yang bermodal. Bahkan, seperti pengalaman di Jambi, di Riau juga, di PTT Arara Abadi, di Jambi dengan Wirakarya Sakti. Keduanya milik kelompok Sinar Mas Group, perusahaannya yang hanya punya SK, itu bisa melakukan mobilisasi polisi untuk mengusir warga yang punya sertifikat, punya hak asal usul yang turun temurun. SK itu bukan bukti hukum karena SK Menteri Kehutanan adalah izin yang harus diverifikasi lagi di wilayah'.
Menurut data KPA, dari semua kasus agraria di tanah air, hampir dipastikan masyarakat berada di pihak yang kalah.
Iwan Nurdin: Fakta di lapangan, dari catatan kita tahun 2007, hampir dari semua konflik agraria, kepolisian cenderung berpihak pada kelompok-kelompok yang bermodal. Bahkan, seperti pengalaman di Jambi, di Riau juga, di PTT Arara Abadi, di Jambi dengan Wirakarya Sakti. Keduanya milik kelompok Sinar Mas Group, perusahaannya yang hanya punya SK, itu bisa melakukan mobilisasi polisi untuk mengusir warga yang punya sertifikat, punya hak asal usul yang turun temurun. SK itu bukan bukti hukum karena SK Menteri Kehutanan adalah izin yang harus diverifikasi lagi di wilayah'.
Tapi itu
tentu bukan kabar baik bagi perusahaan yang tengah bersengketa dengan
masyarakat. Sebab menurut Iwan, itu ibarat bara dalam sekam.
Iwan Nurdin: 'Rata-rata kepemilikan tanah di Indonesia ini yang dimiliki rakyat adalah 0,3 hakter semata. Sementara 64 juta hektar hutan dikuasakan hanya kepada 222 perusahaan. Ini situasi yang tidak adil. Tidak adil dan juga berbahaya bagi perusahaan karena mereka hidup di atas amarah masyarakat. Potensi ledakan sosialnya begitu besar'.
Iwan Nurdin: 'Rata-rata kepemilikan tanah di Indonesia ini yang dimiliki rakyat adalah 0,3 hakter semata. Sementara 64 juta hektar hutan dikuasakan hanya kepada 222 perusahaan. Ini situasi yang tidak adil. Tidak adil dan juga berbahaya bagi perusahaan karena mereka hidup di atas amarah masyarakat. Potensi ledakan sosialnya begitu besar'.
Lantas,
siapa yang seharusnya menengahi konflik ini?
Iwan Nurdin:
'Ini adalah kekacauan yang luar biasa. Bahkan masyarakat yang mengalami konflik
agraria, secarsa bergurau miris mengatakan, hanya Tuhan yang belum kita surati.
Presiden sudah kita surati, Ketua DPR sudah, Kepala BPN sudah, Menhut sudah,
Mendagri sudah, Gubernur, Bupati semua sudah kita surati. Dan semuanya
mengatakan pasti bukan yang paling berwenang'.
Deklarasi
suku asli dunia
Konflik tanah jelas menyebabkan mundurnya taraf hidup masyarakat. Tidak hanya di Riau atau Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Itulah sebabnya pada Kongres Bumi Sedunia yang digelar PBB di Brazil pada 1992, masalah ini dijadikan salah satu topik bahasan.
Konflik tanah jelas menyebabkan mundurnya taraf hidup masyarakat. Tidak hanya di Riau atau Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Itulah sebabnya pada Kongres Bumi Sedunia yang digelar PBB di Brazil pada 1992, masalah ini dijadikan salah satu topik bahasan.
Menjelang
kongres berakhir, berdirilah seseorang suku asli Amazone yang bernama Kranak.
Ia membacakan deklarasinya yang akhirnya dikenang sebagai deklarasi suku-suku
asli dunia.
Kranak: 'We are beginning to think, we are writing the new chapter of history to demand our right, take on our duties and defend our identity and tradition'
Kranak: 'We are beginning to think, we are writing the new chapter of history to demand our right, take on our duties and defend our identity and tradition'
'Hari ini
kami menulis bab baru dalam sejarah untuk menuntut hak-hak dan kewajiban kami
dan mempertahankan jati diri serta tradisi kami.'
Mata para
kepala negara memandang Kranak dan menyadarkan mereka akan hak-hak suku asli
yang telah dirampok oleh masyarakat yang menamakan dirinya beradab.
Suasana konferensi
tani Riau: Ayo rakyat yok galang persatuan. Ayo! Ayo kita turun ke jalan. Ayo!
Yuk kita turun aksi dengan front persatuan, bangkit jadi bangsa mandiri. Cukup
sudah jadi bangsa kuli. Bangkit jadi bangsa mandiri. Kita kibarkan tripani
hapus hutang luar negeri aset pertambangan dinasionalisasi untuk bangun pabrik
dalam negeri. Bangkit jadi bangsa mandiri!