Ikhlas! Kata ini memang mudah untuk diucapkan, dan siapapun bisa menyampaikan dengan caranya masing-masing. Namun, jarang yang memaknai kata ini dengan maknanya yang sebenarnya. Termasuk saya sendiri. Kadang mengatakan ikhlas tetapi selalu saja rayuan setan bicara sesudahnya. Ampuni hamba-Mu yang berdosa ini ya Rabb.
Tuhan, Rabbku yang Maha Segalanya. Ajarkan aku agar menjadi manusia yang benar-benar bisa memaknai dan menjalankan apa yang ada dibalik kata ini. Jadikan, saya seorang yang benar mampu melakukan apa yang sudah diucapkan, ajari saya untuk selalu mampu menutup keburukan dengan kebaikan, ajari aku untuk bisa tersenyum ikhlas di depan orang yang sudah menyakiti dan menitikkan luka sekalipun. 
Rabbku yang Maha Indah. Ku ingin belajar untuk ikhlas dan murah senyum. Gerakkan hatiku untuk berbuat baik dan gerakkan juga mulutku untuk menyunggingkan senyum indah buat semua orang. 
Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. 
Seorang tidak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas. 
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku 
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162). Surat 
Al-Bayyinah ayat 5 menyatakan, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali 
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam 
(menjalankan) agama dengan lurus.” Rasulullah saw. bersabda, “Ikhlaslah 
dalam beragama; cukup bagimu amal yang sedikit.”
Tatkala
 Jibril bertanya tentang ihsan, Rasul saw. berkata, “Engkau beribadah 
kepada Allah seolah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, 
maka sesungguhnya Allah melihatmu.” Rasulullah saw. bersabda, 
“Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali dilakukan dengan ikhlas 
dan mengharap ridha-Nya.”
Fudhail bin Iyadh memahami kata ihsan dalam firman Allah surat Al-Mulk ayat 2 yang berbunyi, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” dengan makna akhlasahu (yang paling ikhlas) dan ashwabahu
 (yang paling benar). Katanya, “Sesungguhnya jika amal dilakukan dengan 
ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak diterima. Dan jika amal itu benar 
tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima. Sehingga, amal itu harus 
ikhlas dan benar. Ikhlas jika dilakukan karena Allah Azza wa Jalla dan 
benar jika dilakukan sesuai sunnah.” Pendapat Fudhail ini disandarkan 
pada firman Allah swt. di surat Al-Kahfi ayat 110.
Imam
 Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu 
Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk 
membuat seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika 
demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”
Karena
 itu tak heran jika Ibnul Qoyyim memberi perumpamaan seperti ini, “Amal 
tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil 
pasir. Memberatkannya tapi tidak bermanfaat.” Dalam kesempatan lain 
beliau berkata, “Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak mungkin 
Allah mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa 
keikhlasan, maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang munafik.”
Makna Ikhlas
Secara
 bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu 
bersih tidak kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan 
agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak 
menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam beramal.
Sedangkan
 secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam 
beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari
 kotoran yang merusak.
Seseorang yang 
ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras (nampi beras) dari 
kerikil-kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang 
dimasak menjadi nikmat dimakan. Tetapi jika beras itu masih kotor, 
ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu kecil. Demikianlah 
keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan
 segala pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan 
dengan riya akan menyebabkan amal tidak nikmat. Pelakunya akan mudah 
menyerah dan selalu kecewa.
Karena itu, 
bagi seorang dai makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh 
perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap 
ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya tanpa melihat pada kekayaan dunia, 
tampilan, kedudukan, sebutan, kemajuan atau kemunduran. Dengan demikian 
si dai menjadi tentara fikrah dan akidah, bukan tentara dunia dan 
kepentingan. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan 
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; 
dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku.” Dai yang berkarakter 
seperti itulah yang punya semboyan ‘Allahu Ghayaatunaa‘, Allah tujuan kami, dalam segala aktivitas mengisi hidupnya.
Buruknya Riya
Makna
 riya adalah seorang muslim memperlihatkan amalnya pada manusia dengan 
harapan mendapat posisi, kedudukan, pujian, dan segala bentuk keduniaan 
lainnya. Riya merupakan sifat atau ciri khas orang-orang munafik. 
Disebutkan dalam surat An-Nisaa ayat 142, “Sesungguhnya orang-orang 
munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan 
apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka 
bermaksud riya (dengan shalat itu) di hadapan manusia. Dan tidaklah 
mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”
Riya
 juga merupakan salah satu cabang dari kemusyrikan. Rasulullah saw. 
bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takuti pada kalian adalah syirik
 kecil.” Sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?” 
Rasulullah saw. menjawab, “Riya. Allah berkata di hari kiamat ketika 
membalas amal-amal hamba-Nya, ‘Pergilah pada yang kamu berbuat riya di 
dunia dan perhatikanlah, apakah kamu mendapatkan balasannya?'” (HR 
Ahmad).
Dan orang yang berbuat riya pasti
 mendapat hukuman dari Allah swt. Orang-orang yang telah melakukan 
amal-amal terbaik, apakah itu mujahid, ustadz, dan orang yang senantiasa
 berinfak, semuanya diseret ke neraka karena amal mereka tidak ikhlas 
kepada Allah. Kata Rasulullah saw., “Siapa yang menuntut ilmu, dan tidak
 menuntutnya kecuali untuk mendapatkan perhiasan dunia, maka ia tidak 
akan mendapatkan wangi-wangi surga di hari akhir.” (HR Abu Dawud)
Ciri Orang Yang Ikhlas
Orang-orang yang ikhlas memiliki ciri yang bisa dilihat, diantaranya:
1.
 Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam 
keadaan sendiri atau bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun 
celaan. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Orang yang riya memiliki 
beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan banyak 
orang. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang
 jika dicela.”
Perjalanan 
waktulah yang akan menentukan seorang itu ikhlas atau tidak dalam 
beramal. Dengan melalui berbagai macam ujian dan cobaan, baik yang suka 
maupun duka, seorang akan terlihat kualitas keikhlasannya dalam 
beribadah, berdakwah, dan berjihad.
Al-Qur’an
 telah menjelaskan sifat orang-orang beriman yang ikhlas dan sifat 
orang-orang munafik, membuka kedok dan kebusukan orang-orang munafik 
dengan berbagai macam cirinya. Di antaranya disebutkan dalam surat 
At-Taubah ayat 44-45, “Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari 
akhir, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad 
dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang 
bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah 
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hati 
mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam 
keragu-raguannya.”
2.
 Terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama 
manusia atau jauh dari mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku beritahukan
 bahwa ada suatu kaum dari umatku datang di hari kiamat dengan kebaikan 
seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah menjadikannya seperti 
debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu, dan 
kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Tetapi 
mereka adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang diharamkan Allah.” 
(HR Ibnu Majah)
Tujuan yang 
hendak dicapai orang yang ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha 
manusia. Sehingga, mereka senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal,
 baik dalam kondisi sendiri atau ramai, dilihat orang atau tidak, 
mendapat pujian atau celaan. Karena mereka yakin Allah Maha melihat 
setiap amal baik dan buruk sekecil apapun.
3.
 Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang dai yang ikhlas akan merasa 
senang jika kebaikan terealisasi di tangan saudaranya sesama dai, 
sebagaimana dia juga merasa senang jika terlaksana oleh tangannya.
Para
 dai yang ikhlas akan menyadari kelemahan dan kekurangannya. Oleh karena
 itu mereka senantiasa membangun amal jama’i dalam dakwahnya. Senantiasa
 menghidupkan syuro dan mengokohkan perangkat dan sistem dakwah. 
Berdakwah untuk kemuliaan Islam dan umat Islam, bukan untuk meraih 
popularitas dan membesarkan diri atau lembaganya semata.