SUMBER : http://susandi.wordpress.com
Bahasa Indonesia ialah sebuah dialek bahasa
Melayu yang menjadi bahasa resmi Republik Indonesia Kata “Indonesia” berasal
dari dua kata bahasa Yunani, yaitu Indos yang berarti “India” dan nesos yang
berarti “pulau”. Jadi kata Indonesia berarti kepulauan India, atau kepulauan
yang berada di wilayah India.
Di masa penjajahan India-Belanda ini muncul nama
Indonesia. Pertama kali digunakan oleh dua orang Inggris, yaitu George Samuel
Windsor Earl, seorang pengacara kelahiran London, yang bersama James Richardson
Logan, seorang pengacara kelahiran Scotlandia, menulis artikel sebanyak 96
halaman di Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia No. 4, tahun 1850
dengan judul “The Ethnology of the Indian Archipelago: Embracing Enquiries into
the Continental Relations of the Indo-Pacific Islanders.” Mereka menamakan
penduduk India-Belanda bagian barat yang berasal Proto-Malaya (Melayu tua) dan Deutero-Malaya
(Melayu muda), sebagai Indunesians (Indu, bahasa Latin, artinya: India; Nesia,
asal katanya adalah nesos, bahasa Yunani, artinya: kepulauan). Sedangkan
penduduk di wilayah India-Belanda bagian timur masuk ke dalam kategori
Melanesians (Mela = hitam. Melanesia = kepulauan orang-orang hitam). Oleh
karena itu, Earl sendiri kemudian cenderung menggunakan istilah Melayu-nesians,
untuk menamakan penduduk India-Belanda bagian barat. Kemudian Logan merubah
Indunesia menjadi Indonesia (Indos dan Nesos, keduanya berasal dari bahasa
Yunani) dalam tulisan-tulisannya di Journal tersebut.
Pada zaman purba, kepulauan tanah air kita
disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita
dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India
menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang
diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang).
Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan
pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke
Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan
Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir
al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari
bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh
kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di
Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh
orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. “Samathrah, Sholibis,
Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa)” kata seorang
pedagang di Pasar Seng, Mekah.
Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke
Asia. Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia
hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang
terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah “Hindia”. Semenanjung
Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai
“Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air kita memperoleh nama “Kepulauan Hindia”
(Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur”
(Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah
“Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).
Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa
Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda),
sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo
(Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama
samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan
kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia”
(bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini kurang
populer. Bagi orang Bandung, Insulinde mungkin cuma dikenal sebagai nama toko
buku yang pernah ada di Jalan Otista.
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes
Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu
dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak
mengandung unsur kata “India”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu
istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu
dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir
abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh
Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara
yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman
Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan
pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar,
seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Kita tentu pernah
mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, “Lamun huwus kalah nusantara, isun
amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati
istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi
jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata
Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di
antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi
nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat
menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.
Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita
pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke.
Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Kini akan kita
telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.
Nama Indonesia
Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah
majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia
(JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang
Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada
tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl
(1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74,
Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian
and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah
tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk
memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan
sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan
nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau).
Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: … the inhabitants of the Indian
Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or
Malayunesians.
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia
(Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia
sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk
Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah
bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl
memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347,
James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago.
Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan
tanah air kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan
membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u
digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah
Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di
dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: Mr. Earl suggests
the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I
prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter
synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. Ketika mengusulkan
nama “Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu
akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat
terbesar di muka bumi!
Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan
nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian
istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf
Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen
Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara
ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan
istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul
anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak
benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie
tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu dari
tulisan-tulisan Logan.
Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan
istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di
buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan
nama Indonesische Pers-bureau.
Makna politis
Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang
merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh
pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “Indonesia” akhirnya
memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan
kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap
pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta,
seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam,
organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun
1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische
Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra,
berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, “Negara
Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat)
mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat
menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia
menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan
mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap
orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan
kemampuannya.”
Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan
Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis
Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun
1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische
Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula
menggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama
tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia
tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota
Volksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho
Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah
Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama
“Nederlandsch-Indie”. Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak
mentah-mentah.
Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya
tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama
“Hindia Belanda” untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas
berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia. (Pikiran
Rakyat)