Selasa, 14 Februari 2012

SIKAP BAHASA (LANGUAGE ATTITUDE)


I.    Pendahuluan

Bahasa adalah salah satu ciri khas manusiawi yang membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain. Selain itu, bahasa mempunyai fungsi sosial, baik sebagai alat komunikasi maupun sebagai suatu cara mengidentifikasikan kelompok sosial. Pandangan de Saussure (1916) yang menyebutkan bahwa bahasa adalah salah satu lembaga kemasyarakatan, yang sama dengan lembaga kemasyarakatan lain, seperti perkawinan, pewarisan harta peninggalan, dan sebagainya telah memberi isyarat akan pentingnya perhatian terhadap dimensi sosial bahasa.


Namun, kesadaran tentang hubungan yang erat antara bahasa dan masyarakat baru muncul pada pertengahan abad ini (Hudson 1996). Para ahli bahasa mulai sadar bahwa pengkajian bahasa tanpa mengaitkannya dengan masyarakat akan mengesampingkan beberapa aspek penting dan menarik, bahkan mungkin menyempitkan pandangan terhadap disiplin bahasa itu sendiri. Sosiolinguistik merupakan ilmu yang mempelajari bahasa dengan dimensi kemasyarakatan. Apabila kita mempelajari bahasa tanpa mengacu ke masyarakat yang menggunakannya sama dengan menyingkirkan kemungkinan ditemukannya penjelasan sosial bagi struktur yang digunakan.  Dari perspektif sosiolinguistik fenomena sikap bahasa (language attitude) dalam masyarakat multibahasa merupakan gejala yang menarik untuk dikaji, karena melalui sikap bahasa dapat menentukan keberlangsungan hidup suatu bahasa.


II.    Sikap Bahasa (Language Attitude)

Sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain (Kridalaksana, 2001:197). Dalam bahasa Indonesia kata sikap dapat mengacu pada bentuk tubuh, posisi berdiri yang tegak, perilaku atau gerak-gerik, dan perbuatan atau tindakan yang dilakukan berdasarkan pandangan (pendirian, keyakinan, atau pendapat) sebagai reaksi atas adanya suatu hal atau kejadian.
Sikap merupakan fenomena kejiwaan, yang biasanya termanifestasi dalam bentuk tindakan atau perilaku. Sikap tidak dapat diamati secara langsung. Untuk mengamati sikap dapat dilihat melalui perilaku, tetapi berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa apa yang nampak dalam perilaku tidak selalu menunjukkan sikap. Begitu juga sebaliknya, sikap seseorang tidak selamanya tercermin dalam perilakunya.
Keadaan dan proses terbentuknya sikap bahasa tidak jauh dari keadaan dan proses terbentuknya sikap pada umumnya. Sebagaimana halnya dengan sikap, maka sikap bahasa juga merupakan peristiwa kejiwaan sehingga tidak dapat diamati secara langsung. Sikap bahasa dapat diamati melalui perilaku berbahasa atau perilaku tutur. Namun dalam hal ini juga berlaku ketentuan bahwa tidak setiap perilaku tutur mencerminkan sikap bahasa. Demikian pula sebaliknya, sikap bahasa tidak selamanya tercermin dalam perilaku tutur. Dibedakannya antara bahasa (langue) dan tutur (parole) (de Saussure, 1976), maka ketidaklangsungan hubungan antara sikap bahasa dan perilaku tutur makin menjadi lebih jelas lagi. Sikap bahasa cenderung mengacu kepada bahasa sebagai sistem (langue), sedangkan perilaku tutur lebih cenderung merujuk kepada pemakaian bahasa secara konkret (parole).

Triandis (1971) berpendapat bahwa sikap adalah kesiapan bereaksi terhadap suatu keadaan atau kejadian yang dihadapi. Kesiapan ini dapat mengacu kepada “sikap perilaku”. Menurut Allport (1935), sikap adalah kesiapan mental dan saraf, yang terbentuk melalui pengalaman yang memberikan arah atau pengaruh yang dinamis kepada reaksi seseorang terhadap semua objek dan keadaan yang menyangkut sikap itu. Sedangkan Lambert (1967) menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Penjelasan ketiga komponen tersebut sebagai berikut.
  • Komponen kognitif berhubungan dengan pengetahuan mengenai alam sekitar dan gagasan yang biasanya merupakan kategori yang dipergunakan dalam proses berpikir.
  • Komponen afektif menyangkut masalah penilaian baik, suka atau tidak suka, terhadap sesuatu atau suatu keadaan, maka orang itu dikatakan memiliki sikap positif. Jika sebaliknya, disebut memiliki sikap negatif.
  • Komponen konatif menyangkut perilaku atau perbuatan sebagai “putusan akhir” kesiapan reaktif terhadap suatu keadaan.
Melalui ketiga komponen inilah, orang biasanya mencoba menduga bagaimana sikap seseorang terhadap suatu keadaan yang sedang dihadapinya. Ketiga komponen sikap ini (kognitif, afektif, dan konatif) pada umumnya berhubungan dengan erat. Namun, seringkali pengalaman “menyenangkan’ atau “tidak menyenangkan” yang didapat seseorang di dalam masyarakat menyebabkan hubungan ketiga komponen itu tidak sejalan. Apabila ketiga komponen itu sejalan, maka bisa diramalkan perilaku itu menunjukkan sikap. Tetapi kalau tidak sejalan, maka dalam hal itu perilaku tidak dapat digunakan untuk mengetahui sikap. Banyak pakar yang memang mengatakan bahwa perilaku belum tentu menunjukkan sikap.
Edward (1957) mengatakan bahwa sikap hanyalah salah satu faktor, yang juga tidak dominan, dalam menentukan perilaku. Oppenheim (1976) dapat menentukan perilaku atas dasar sikap. Sedangkan Sugar (1967) berdasarkan penelitiannya memberi kesimpulan bahwa perilaku itu ditentukan oleh empat buah faktor utama, yaitu sikap, norma sosial, kebiasaan, dan akibat yang mungkin terjadi. Dari keempat faktor itu dikatakan bahwa kebiasaan adalah faktor yang paling kuat, sedangkan sikap merupakan faktor yang paling lemah. Jadi, dengan demikian jelas bahwa sikap bukan satu-satunya faktor yang menentukan perilaku, tetapi yang paling menentukan perilaku adalah kebiasaan.
Anderson (1974) membagi sikap atas dua macam, yaitu (1) sikap kebahasaan dan (2) sikap nonkebahasaan, seperti sikap politis, sikap keagamaan, dan lain-lain. Menurut Anderson, sikap bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya. Namun sikap tersebut dapat berupa sikap positif dan negatif, maka sikap terhadap bahasa pun demikian. Garvin dan Mathiot (1968) merumuskan tiga ciri sikap bahasa yaitu:
  • Kesetiaan Bahasa (Language Loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain.
  • Kebanggaan Bahasa (Language Pride) yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat.
  • Kesadaran adanya norma bahasa (Awareness Of The Norm) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use).
Ketiga ciri yang dikemukakan Garvin dan Mathiot tersebut merupakan ciri-ciri sikap positif terhadap bahasa. Sikap positif yaitu sikap antusiasme terhadap penggunaan bahasanya (bahasa yang digunakan oleh kelompoknya/masyarakat tutur dimana dia berada). Sebaliknya jika ciri-ciri itu sudah menghilang atau melemah dari diri seseorang atau dari diri sekelompok orang anggota masyarakat tutur, maka berarti sikap negatif terhadap suatu bahasa telah melanda diri atau kelompok orang itu. Ketiadaan gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya merupakan salah satu penanda sikap negatif, bahwa kesetiaan bahasanya mulai melemah, yang bisa berlanjut menjadi hilang sama sekali.
Sikap negatif terhadap bahasa dapat juga terjadi bila orang atau sekelompok orang tidak mempunyai lagi rasa bangga terhadap bahasanya, dan mengalihkannya kepada bahasa lain yang bukan miliknya. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu antara lain: faktor politis, faktor etnis, ras, gengsi, menganggap bahasa tersebut terlalu rumit atau susah dan sebagainya. Sebagai contoh yaitu penggunaan bahasa Jawa di lingkungan masyarakat Jawa. Dewasa ini penggunaan bahasa Jawa dikalangan masyarakat Jawa sendiri dirasa kurang begitu antusias. Hal ini merupakan tanda-tanda mulai munculnya sikap yang kurang positif terhadap bahasa tersebut. Bahasa-bahasa daerah terkadang dianggap sebagai bahasa yang kurang fleksibel dan kurang mengikuti perkembangan jaman. Demikian pula bahasa Jawa. Anak-anak muda pada jaman sekarang kurang begitu mengerti dan antusias menggunakan bahasa tersebut, karena ada yang merasa bahwa bahasa Jawa terlalu rumit bagi mereka, banyak leksikon dari bahasa Jawa yang tidak dimengerti, ditambah dengan penggunaan tingkat tutur bahasa Jawa dan sebagainya. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa mereka sudah tidak berminat lagi untuk mempelajari bahasa Jawa, atau hal itu juga dipengaruhi oleh perkembangan keadaan yang menghendaki segala sesuatu yang serba praktis dan simpel. Tidak hanya bahasa daerah, tetapi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional pun dirasa telah mulai pudar ciri sikap bahasa positifnya.
Sikap negatif juga akan lebih terasa akibat-akibatnya apabila seseorang atau sekelompok orang tidak mempunyai kesadaran akan adanya norma bahasa. Sikap tersebut nampak dalam tindak tuturnya. Mereka tidak merasa perlu untuk menggunakan bahasa secara cermat dan tertib, mengikuti kaidah yang berlaku.
Berkenaan dengan sikap bahasa negatif ada pendapat yang menyatakan bahwa jalan yang harus ditempuh adalah dengan pendidikan bahasa yang dilaksanakan atas dasar pembinaan kaidah dan norma-norma sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan. Namun menurut Lambert (1976) motivasi belajar tersebut juga berorientasi pada dua hal yaitu:
  1. Perbaikan nasib (orientasi instrumental). Orientasi instrumental mengacu/banyak terjadi pada bahasa-bahasa yang jangkauan pemakaiannya luas, banyak dibutuhkan dan menjanjikan nilai ekonomi yang tinggi, seperti bahasa Inggris, bahasa Prancis, dan bahasa Jepang.
  2. Keingintahuan terhadap kebudayaan masyarakat yang bahasanya dipelajari (orientasi integratif). Orientasi integratif banyak terjadi pada bahasa-bahasa dari suatu masyarakat yang mempunyai kebudayaan tinggi, tetapi bahasanya hanya digunakan sebagai alat komunikasi terbatas pada kelompok etnik tertentu.
Kedua orientasi tersebut juga merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap bahasa seseorang. Selain itu sikap bahasa juga bisa mempengaruhi seseorang untuk menggunakan suatu bahasa, dan bukan bahasa yang lain, dalam masyarakat yang bilingual atau multilingual.
Mengacu pada sikap bahasa pada masyarakat yang bilingual atau multilingual, terdapat dampak positif dan negatif bagi pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Memang semakin meluasnya pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, adalah suatu hal yang positif. Tetapi dampak negatifnya seseorang sering mendapat hambatan psikologis dalam menggunakan bahasa daerahnya yang mengenal tingkatan bahasa, seringkali memaksa mereka terbalik-balik dalam bertutur antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Akhirnya sering terjadi kalimat-kalimat / kata-kata (karena banyaknya terjadi interferensi / campur kode yang tidak terkendali) muncul kata-kata sebagai suatu ragam bahasa baru. Misalnya, bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan atau bahasa Indonesia yang keinggris-inggrisan, dan lain-lain. Hal itu pun mulai sering ditemui di masyarakat pengguna bahasa sekarang.

Contoh:
1.    Bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan.
a.    Adanya pemakaian akhiran ‘o’
 lihato [ lihatכ ]‘lihatlah’, yang baku sebenarnya adalah lihatlah.àLihat + o
Jadi kata bahasa Indonesia mendapat tambahan akhiran -o, atau seperti akhiran a [  כ  ] dalam bahasa Jawa.

b.  Adanya pemakaian akhiran ‘-en’
 ambilen [ ambIlən ], yang baku adalah ambilah.àAmbil + en
Kata ambil dalam bahasa Indonesia mendapat tambahan akhiran -en yang merupakan akhiran dalam bahasa Jawa.
 menembaki [mənεmba?i], seharusnya menembakki [mənεmba?ki].àc. Menembak + i

d. Adanya pemakaian akhiran ‘-ke’
 biarke [biarke], yang baku adalah biarkan.àbiar + ke  
 dudukke [dudU?ke], yang baku adalah dudukkanàduduk + ke
 ambilke [ambIlke], yang baku adalah ambilkanàambil + ke
Akhiran -ke tidak terdapat dalam bahasa Indonesia, akhiran -ke disini digunakan seperti dalam penggunaan akhiran –ake dalam bahasa Jawa.

2.    Bahasa Indonesia yang keinggris-inggrisan
Hal ini biasanya terdapat dalam pengucapan/pelafalan bahasa Indonesia yang menyerupai pelafalan/pengucapan bahasa Inggris.
Contoh:
 diucapkan Becheq [bεchε?]àBecek [bεcεk]
fonem t [t] diucapkan c [c]
 gicu [gicu]àGitu [gitu]  
 anchri [anchri]àAntri [antri]

3.    Bahasa Jawa yang keindonesia-indonesiaan.
Penggunaan akhiran -lah.
Contoh:
 wis ta ‘sudahlah’àwislah [wIslah]

III.    Penutup

Sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain (Kridalaksana, 2001:197). Keadaan dan proses terbentuknya sikap bahasa tidak jauh dari keadaan dan proses terbentuknya sikap pada umumnya. Lambert (1967) menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif.
Anderson (1974) membagi sikap atas dua macam, yaitu (1) sikap kebahasaan dan (2) sikap nonkebahasaan. Sikap kebahasan dapat dikategorikan menjadi dua sikap yaitu sikap positif dan sikap negatif. Sikap positif yaitu sikap antusiasme terhadap penggunaan bahasanya (bahasa yang digunakan oleh kelompoknya/masyarakat tutur dimana dia berada). Sebaliknya jika ciri-ciri itu sudah menghilang atau melemah dari diri seseorang atau dari diri sekelompok orang anggota masyarakat tutur, maka berarti sikap negatif terhadap suatu bahasa telah melanda diri atau kelompok orang itu. Garvin dan Mathiot (1968) merumuskan tiga ciri sikap bahasa yaitu kesetiaan bahasa (language loyalty), kebanggaan bahasa (language pride), kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm).

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Chaer, Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Harimurti Kridalaksana. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Mansoer, Pateda. 1990. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia.
Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori dan Problema. Surakarta: Henari Offset Solo.
http://www.google.com-sosiolinguistik-sikap bahasa.