Dari tiga butir Sumpah Pemuda, mungkin sumpah ketiga yang tidak banyak
mengandung masalah.
Kita mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Namun, tanah yang
satu itu sudah banyak yang dikuasai oleh pihak luar negeri, lebih banyak untuk
kepentingan mereka dibandingkan dengan untuk kepentingan anak bangsa (kecuali
segelintir pejabat dan pengusaha). Kesatuan wilayah Tanah Air itu kita
pertahankan dengan kekerasan terhadap anak bangsa di sejumlah tempat yang
memprotes ketidakadilan.
Kita mengaku berbangsa yang satu, yaitu bangsa Indonesia, tetapi rasa
berbangsa satu itu kian menipis. Sejumlah daerah ingin melepaskan diri dari
bangsa Indonesia karena merasa diperlakukan tidak adil.
Kondisi bangsa kita amat menyedihkan sehingga makin banyak yang mengatakan
bahwa kita adalah ”bangsa kuli dan kulinya bangsa-bangsa”. Jarang ada tulisan
yang bernada positif tentang kondisi bangsa Indonesia.
Kita bertekad bahwa sebagai putra dan putri Indonesia, kita akan menjunjung
tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Tampaknya butir ketiga dari Sumpah
Pemuda itulah yang masih tersisa dari ketiga butir Sumpah Pemuda. Memang ada
sejumlah masalah dalam perkembangan bahasa Indonesia, tetapi secara keseluruhan
masih bisa dianggap baik.
Pilihan yang tepat
Semula Mr Mohammad Yamin mengusulkan bahasa Melayu, bukan bahasa Indonesia,
dengan alternatif bahasa Jawa. Namun, Sanusi Pane menolak. Menurutnya, bahasa
persatuan bagi nusa dan bangsa Indonesia haruslah bahasa Indonesia, bukan
bahasa Melayu ataupun bahasa Jawa.
Pilihan para pemuda terhadap bahasa Melayu sebagai bahan baku bahasa
Indonesia adalah pilihan yang tepat. Kebesaran jiwa para pemuda dari suku Jawa
untuk tidak mengusulkan bahasa Jawa perlu dihargai. Para cendekiawan dari
berbagai daerah di Nusantara itu memahami bahwa bahasa Melayu adalah lingua
franca yang betul-betul hidup di seluruh wilayah Nusantara.
Dari prasasti yang ditemukan di Palembang, Sumatera Selatan, (683 Masehi),
dapat diketahui bahwa bahasa Melayu (kuno) sudah digunakan sebagai alat
komunikasi masyarakat pada saat itu. Prasasti itu menggunakan bahasa Melayu
kuno dalam tulisan menggunakan aksara Pallawa. Karena Kerajaan Sriwijaya punya
pengaruh luas di Nusantara, warga di wilayah Nusantara yang berinteraksi dengan
Sriwijaya juga memakai bahasa Melayu.
Sriwijaya maju dalam kesusastraan dan ilmu pengetahuan (agama). Pada abad
XIV, Kerajaan Malaka merdeka. Malaka punya pengaruh besar pada wilayah timur
Nusantara. Penyebaran bahasa Melayu sejalan dengan penyebaran agama Islam.
Namun, perkembangan bahasa Melayu tidak menghilangkan bahasa daerah.
Penjajah Belanda mengalami kesulitan berkomunikasi dengan warga di berbagai
daerah yang punya dialek lokal. Satu-satunya pilihan adalah menggunakan bahasa
Melayu. Menurut Brugmans, yang dikutip dalam buku Suhendar (1998), bahasa Melayu
digunakan Belanda untuk mengadakan perjanjian dengan raja-raja taklukan,
penyebaran agama Kristen, dan komunikasi antara penduduk pribumi dan Belanda.
Memang ada upaya dari Prof Kem pada 1890 untuk menghambat perkembangan
bahasa Melayu. Dia menyerukan dibentuknya lembaga propaganda bahasa Belanda
untuk meningkatkan derajat sosial bangsa Bumiputera dengan berbahasa Belanda
dan juga derajat pekerjaan mereka.
Bukan tanpa masalah
Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa pengikat dan bahasa persatuan bagi
bangsa Indonesia. Sutan Takdir Alisjahbana menyebutnya sebagai salah satu
mukjizat abad ini.
Bahasa Indonesia telah ditetapkan oleh UUD 1945 menjadi bahasa negara. Di
beberapa negara, bahasa Indonesia telah dipelajari. Namun, tidak berarti bahwa
keberadaan bahasa Indonesia bukan tanpa masalah.
Pada 2010, kita membaca berita bahwa banyak ketidaklulusan siswa SMA/MA/SMK
dalam ujian nasional disebabkan oleh kegagalan dalam mata pelajaran Bahasa
Indonesia. Fakta itu menunjukkan bahwa mutu guru mata pelajaran Bahasa
Indonesia amat rendah sehingga tidak mampu memberi kemampuan minimal untuk bisa
lulus.
Perlu dikaji apakah hal itu terjadi karena kurikulum yang ada atau memang
karena rendahnya mutu guru. Pelajaran Bahasa Indonesia tak mendapat perhatian
memadai dari siswa dan juga guru-guru. Jarang kepala sekolah yang memperhatikan
rendahnya angka siswa dalam ujian nasional mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Salah satu faktor yang mengganggu perkembangan bahasa Indonesia ialah
pengaruh ”bahasa gaul”. Kalau itu dilakukan dalam bahasa lisan, SMS, Twitter,
atau dalam pertunjukan di panggung dan televisi, masih bisa kita pahami. Namun,
ternyata di dalam tugas mahasiswa dan makalah juga digunakan bahasa gaul
semacam itu.
Kalau praktik semacam itu terus dibiarkan, kita khawatir kemampuan berbahasa
Indonesia yang baik dan benar oleh para tamatan universitas akan menurun. Kalau
hal tersebut terus terjadi, bukan tidak mungkin suatu hari kelak kita sulit
memahami laporan yang ditulis oleh para sarjana lulusan perguruan tinggi di negeri
ini.
Kebiasaan buruk lain ialah kegemaran menyerap bahasa asing, khususnya
Inggris, di dalam percakapan sehari-hari atau pidato oleh para pejabat,
termasuk (maaf) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan untuk kata-kata
yang sudah ada dalam perbendaharaan bahasa Indonesia, kita juga memakai
kata-kata Inggris. Misal kata ”klir” dalam kalimat, ”Masalah itu sudah klir.”
Bukankah kita bisa memakai kalimat, ”Masalah itu sudah jelas.” Kita tentu tidak
bisa menghindar dari menyerap kata asing, tetapi hendaknya hal itu dilakukan
jika memang benar-benar terpaksa.
Rendahnya minat terhadap bahasa Indonesia sedikit banyak akan berpengaruh
terhadap minat baca. Studi 0rganization for Economic Co-operation and
Development (OECD) pada 2006 menunjukkan bahwa kemampuan membaca anak-anak
Indonesia baru mencapai angka 392, jauh di bawah kemampuan rata-rata
negara-negara OECD yang ada di angka 492.
Kalau bangsa kita kurang banyak membaca bahan bacaan
yang bagus, bisa kita bayangkan seperti apa jadinya bangsa ini di masa depan.
Karena itu, kita perlu berjuang untuk merawat bahasa Indonesia sebagai salah
satu nikmat dan anugerah Allah kepada bangsa Indonesia. Juga perlu berjuang
menumbuhkan minat baca untuk meningkatkan budaya keberaksaraan bangsa.
oleh Salahuddin Wahid